Rabu, 18 April 2012

DARI MEKATANI, PULAU BERUANG DAN PENANGKARAN BUAYA (Seri Sejarah # 7)



Ibarat sebuah rumah tangga maka sang kepala rumah tangga harus mampu memenuhi kebutuhan pokok akan pangan kepada anggota keluarganya. Demikian pula dengan kondisi negara Indonesia ketika itu yang baru saja merdeka dan sedang belajar mandiri untuk mengelola ‘keluarga’ sendiri termasuk dalam urusan pemenuhan kebutuhan akan pangan terhadap rakyatnya. Dalam hal urusan pemenuhan kebutuhan pangan, maka sektor kunci yang harus diperkuat adalah sektor pertanian.

Keprihatinan para pemimpin negeri ini akan pemenuhan kebutuhan pangan untuk rakyat saat itu dituangkan dalam Undang Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1959 Tanggal 14 Januari 1959 Tentang Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan Dan Pembukaan Tanah. Undang-undang ini dibuat atas latar belakang kondisi negara saat itu yang digambarkan dengan pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,7% per tahun, meningkatnya konsumsi beras sebesar kurang lebih 85 kg/jiwa/tahun sebelum perang dunia kedua menjadi 95 kg/jiwa/tahun paska perang, serta beban deviden negara atas impor beras yang semakin tinggi. Pada intinya undang-undang darurat ini adalah tentang pembentukan sebuah badan usaha milik negara yang diberi tanggung jawab untuk mengatasi masalah pangan di dalam negeri. Perusahaan negara ini dikenal dengan Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah (BMPT), badan ini memiliki tugas pokok: (a) intensifikasi produksi bahan makanan, dalam bentuk padi centra, (b) produksi bahan makanan di tanah kering, dalam bentuk perusahaan pertanian sendiri dan dalam bentuk perusahaan pembukaan tanah untuk rakyat (c) pembukaan tanah pasang surut.

BMPT dalam menjalankan fungsinya akan melaksanakan 3 hal pokok yaitu memproduksi & mendistribusikan benih-benih padi berkualitas, memproduksi sarana produksi pertanian (pupuk dan pestisida) atau yang dikenal dengan istilah intesifikasi pertanian serta menyediakan alat-alat mekanisasi pertanian guna perluasan/ekstensifikasi lahan pertanian. Khusus untuk ekstensifikasi mekanis lahan pertanian direncanakan akan disediakan unit-unit traktor pertanian oleh pemerintah yang akan digunakan untuk membangun 20 unit perusahaan pertanian pemerintah di seluruh nusantara yang masing-masing unit direncanakan memiliki luas 10.000 ha ditambah pembukaan 100.000 ha lahan baru bagi rakyat pada sekitar masing-masing unit. Dan dalam tahun 1959 itu pula sebagai langkah awal akan dibangun 3 pusat unit yaitu di Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan.

Sebenarnya isu akan perluasan lahan pertanian melalui proyek mekanisasi pertanian ini sebenarnya telah berkembang sebelum Undang-Undang Darurat No 1 tahun 1959 tersebut, karena sebelumnya telah dilakukan terobosan-terobosan yang dilakukan; diawali dengan pemindahan dan pemanfaatan mesin-mesin mekanisasi pertanian peninggalan Belanda dari Sekon Timor Timur ke Jawa tahun 1946, kemudian tahun 1950 didirikan pool-pool traktor yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia, serta usaha mendapatkan mesin baru melalui skema kredit pinjaman luar negeri guna pembelian unit-unit traktor. Diantaranya adalah memo yang dikirim oleh menteri pekerjaan umum yang saat itu dijabat oleh Ir. Pangeran Mohamad Noor kepada James Baird seorang Direktur Bidang Kerjasama Luar Negeri Amerika Serikat (ICA), memo itu dikirim pada bulan Juni 1958; “The cabinet, in its efforts to increase agriculture production is making extensive plans to bring new lands into production and need mechanical equipment. I am coming to you as a friend and not as a minister to ask if US will sell us 500 tractors on credit. We know you and Russia are the only nations in position to supply such a number quickly and we want American equipment. In making this request we are not asking your opinion as to what you think of the program—details such as exact plan aplication, technical help and financing can be dealt later. Our resources are adequate to service a loan and we are prepared to take risks and even material losses in embarking this program—But embark upon it we will, with or without your help” Namun ternyata kemudian pihak Amerika Serikat memberikan respon negatif dengan menolak memberikan bantuan kredit seperti yang disebutkan dalam memo tersebut.

Mekatani adalah anak perusahaan BMPT yang dibentuk bersama-sama Padi Centra berdasarkan Undang Undang Darurat No 1 Tahun 1959, Mekatani memiliki mandat usaha dari pemerintah guna membuka lahan-lahan baru pertanian di luar Jawa sedangkan Padi Centra memiliki mandat usaha untuk memproduksi dan mendistribusikan benih padi berkualitas serta sarana produksi pertanian seperti pupuk dan pestisida. Pembentukan perusahaan Mekatani dikukuhkan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1961 Tanggal 29 Maret 1961Tentang Pendirian Perusahaan Pertanian Negara Kesatuan Kalimantan Selatan, dimana dalam PP ini disebutkan tentang jumlah modal sebesar Rp. 96.894.000, tempat & kedudukan di Kalimantan Selatan serta tujuan lapangan usaha. Peraturan Pemerintah ini kemudian ada perubahan dan tambahan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1963 Tentang Perubahan Dan Tambahan Peraturan Pemerintah No 33, 34, 38, 39, 40, 41 Dan 43 Tahun 1961 Tentang Pendirian Perusahaan Pertanian Negara, Kesatuan-Kesatuan Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan/Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur.

Dalam PP No 14 tahun 1963 disebutkan bahwa unit perusahaan pertanian negara di Kalimantan Selatan disebut sebagai Perusahaan Mekanisasi Pertanian Negara III atau disingkat Mekatani III. Porsi permodalan Mekatani I (Sumut) Rp. 126.445.000, Mekatani II (Sumsel) Rp. 132. 298.000 dan Mekatani III (Kalsel) Rp. 133.622.000 jauh lebih besar bila dibandingkan dengan Mekatani IV (Kalbar), Mekatani V (Kalteng), Mekatani VI (Sulawesi Tenggara) dan Mekatani VII (NTT) yang hanya pada kisaran di bawah Rp. 20.000.000. Hal tersebut dapat dipahami karena Sumut, Sumsel dan Kalsel merupakan proyek rintisan pertama mekanisasi pertanian di Indonesia.

Namun sayang dalam operasionalnya ternyata Perusahaan Mekanisasi Pertanian Negara tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan karena berbagai kendala teknis seperti tidak sesuainya peralatan mekanisasi dengan kondisi lapangan, kesulitan untuk mendapatkan suku cadang peralatan karena sebagian peralatan didatangkan dari negara Eropa Timur (Chekoslovakia) serta kendala keahlian tenaga lokal untuk maintenance dan operasional. Sehingga perusahaan negara ini dianggap tidak layak secara ekonomis dan secara konstitusional dibubarkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 75 Tahun 1971 Tentang Pembubaran Badan Pimpinan Umum Perusahaan Mekanisasi Pertanian Negara Dan Perusahaan-Perusahaan Negara Dalam Lingkungannya.

Tidak ditemukan catatan apapun mengenai proyek besar mekanisasi pertanian ini di Kalimantan Selatan tentang jenis & berapa unit traktor yang pernah beroperasi ataupun berapa luas areal persawahan yang telah dibuka dalam kurun waktu 1963 – 1971 tersebut, kecuali hanya kawasan eks proyek Mekatani di Kalimantan Selatan. Kawasan eks proyek Mekatani di Kalimantan Selatan berada di Jalan A Yani Km 29 Landasan Ulin Banjarbaru. Paska pembubaran Mekatani di Kalimantan Selatan tahun 1971, unit-unit traktor eks Mekatani di Banjarbaru sempat dimanfaatkan oleh seorang pengusaha saw mill dari Alalak bernama Nunci Masaid dengan merubah motor traktor menjadi mesin saw mill, dan dari usahanya tersebut cukup berhasil mendongkrak produksi kayu gergajian yang membuat pengusaha tersebut mampu untuk melayani permintaan pasar kayu gergajian di Jakarta dan Surabaya.

Bagi warga senior Banjarbaru tentu sangat mengenal akan kawasan eks Mekatani di Km 29 atau sebagian warga menyebutnya Pulau Beruang, ada cerita mengenai kawasan tersebut juga dikenal sebagai Pulau Beruang; sekitar tahun 80 an adalah keluarga Munawi yang tinggal di kawasan eks Mekatani dimana Munawi bekerja sebagai tenaga keamanan pada PT. Daya Sakti Group yang mengelola kawasan eks Mekatani tersebut memiliki dua ekor beruang madu, beruang-beruang tersebut dipeliharanya sejak bayi. Yang uniknya kedua beruang madu tersebut tumbuh besar atas perawatan sang isteri yang secara ikhlas menyusui secara langsung kedua beruang tersebut hingga tumbuh besar, mungkin karena keunikan cerita ada orang menyusui bayi beruang yang tersebar dari mulut ke mulut hingga ramai orang berdatangan untuk menyaksikannya maka dikenal lah kawasan eks Mekatani tersebut dengan sebutan Pulau Beruang.

Kawasan eks Mekatani sejak dibubarkannya perusahaan negara tersebut, kawasan ini dikelola oleh sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang kehutanan dan perkebunan yaitu PT. Alas Watu Utama (AWU) yang merupakan anak perusahaan PT. Daya Sakti Group. Disamping mengelola usaha kehutanan dan perkebunan PT. AWU juga memiliki bidang usaha penangkaran satwa diantaranya adalah rusa, ikan dan buaya. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang penangkaran satwa yang dilindungi (buaya) tentu saja terdata dan dimonitor oleh Dirjen Pengusahaan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan Republik Indonesia, yang mana menurut penilaian Dirjen PHKA penangkaran buaya PT. AWU dalam kondisi yang tidak terawat dengan baik hingga perlu tindakan penyelamatan buaya-buaya tersebut. Maka pada pertengahan tahun 2011 lalu dilakukan evakuasi 85 ekor buaya dari penangkaran PT. AWU ke lokasi perusahaan penangkaran lain yaitu sebanyak 40 ekor buaya dipindahkan ke kolam penangkaran milik seorang pengusaha batubara di Tanah Bumbu Kalimantan Selatan dan sebanyak 45 ekor dipindahkan ke penangkaran buaya milik pengusaha penangkaran di Tangerang Banten. (EN, dari berbagai sumber)



 

3 komentar: