Minggu, 29 Mei 2011

PABRIK GULA PELAIHARI 1982 – 2002 (Seri Sejarah # 3)




“Ada gula ada semut” itu adalah pepatah lama yang amat tepat untuk menggambarkan betapa manisnya gula sehingga mengundang banyak hasrat untuk mencicipinya. Demikian pula besarnya hasrat orang-orang Eropa pada berabad-abad yang lalu telah mulai mengembangkan perkebunan-perkebunan tebu berikut industri pengolahan gula di koloni-koloni mereka di daerah tropis seperti Indonesia, India, Filipina, Kepulauan Karibia dan Kepulauan Pasifik lainnya. Akan tetapi sebenarnya tanaman tebu pertama kali ditemukan dan dimanfaatkan oleh orang Polinesia yang kemudian menyebar ke India. Keberadaan tanaman ini sempat dirahasiakan oleh raja Persia yang menguasai India sekitar tahun 510 sebelum Masehi karena hasil olahannya berharga sangat tinggi pada masa itu. Namun akhirnya rahasia tanaman tebu terbongkar oleh prajurit-prajurit Arab pada abad 7 sesudah Masehi, mereka mulai membudidayakan tanaman tebu dan mempelajari cara pengolahannya sehingga mereka mulai mendirikan tempat-tempat pengolahan di wilayah yang mereka kuasai termasuk Afrika Utara dan Spanyol.
Kabupaten Tanah Laut dengan ibu kota Pelaihari sebelum era maraknya pertambangan batu bara dan mineral lainnya saat ini, memang sudah dikenal sebagai daerah penghasil produk-produk pertanian baik itu komoditas pangan, ternak dan perkebunan. Dan salah satu tonggak bersejarah dikenalnya Pelaihari sebagai salah satu daerah industri pertanian di Kalimantan Selatan adalah dengan dibangunnya proyek pabrik gula Pelaihari. Proyek pengembangan pabrik gula Pelaihari secara formal pada awalnya dikelola oleh PT. Perkebunan XXIV – XXV (PERSERO) yang mana pendirian Persero ini dilandasi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1975 tanggal 28 April 1975.
Sedikit tentang PT. Perkebunan XXIV-XXV, perusahaan negara ini memang telah sejak lama berkecimpung dalam perkebunan tebu dan pabrik gula. Berawal dari perkebunan milik Belanda yang beroperasi tahun 1830 dengan nama Anamaet & Co yang berada di Kecamatan Pajarakan Probolinggo Jawa Timur. Pabrik ini terus beroperasi hingga masa pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945, pada masa pendudukan Jepang pabrik ini tidak beroperasi dan bahkan pabriknya sempat beralih fungsi menjadi markas tentara Jepang. Baru pada tahun 1948 pabrik gula ini diambil alih kembali oleh sebuah perusahaan Belanda yang bernama Javanch Kultur Matchapij NV dan baru beroperasi tahun 1951 karena banyak kerusakan akibat perang. Namun perusahaan Belanda ini tidak beroperasi lama karena ada keputusan politik nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia oleh pemerintah Indonesia termasuk pabrik ini pada tahun 1957 dengan adanya Surat Penguasa Militer/ Menteri Pertahanan No.1063/PMT/1957 tanggal 5 Desember 1957. Dan kemudian setelah nasionalisasi perusahaan perkebunan ini berganti nama menjadi Perusahaan Perkebunan Negara Baru atau disingkat PPN Baru yang menjadi cikal bakal PT. Perkebunan XXIX-XXV.
Pembangunan pabrik gula Pelaihari pada saat itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan gula nasional yang kian meningkat serta menuju ke arah swasembada gula. Sedangkan ide pembangunan pabrik gula Pelaihari sendiri adalah merupakan aspirasi masyarakat Tanah Laut kepada pemerintah pusat melalui memorandum DPRD II Tanah Laut Kalimantan Selatan Nomor 02/MEMO/DPRD-TL tanggal 2 November 1980 yang ditanda tangani oleh Ketua DPRD KH Abdul Wahab (alm). Memo tersebut berisi desakan kepada pemerintah pusat agar segera membangun pabrik gula di Pelaihari untuk penyerapan tenaga kerja dan mempercepat swasembada gula. Dengan ketersediaan lahan seluas 22.000 ha pemerintah pusat menanggapi positip aspirasi masyarakat ini dan mulai merealisasikan pembangunan pabrik gula Pelaihari pada tahun 1982 dengan biaya keseluruhan mencapai US$ 130,2 juta yang mana 60% nya merupakan dana pinjaman dari Bank Dunia, serta menunjuk PT. Perkebunan XXIV-XXV sebagai pengelola proyek pengembangan ini dengan pola perkebunan inti rakyat (PIR). Namun proses pembangunan pabrik ini bukan tanpa kendala di lapangan, kendala yang cukup serius adalah klaim atas lahan 22.000 ha areal perkebunan dimana 11.000 ha nya adalah tanah milik warga. Sehingga gubernur Kalimantan Selatan HM Said saat itu harus turun tangan dengan mengundang Tim Optibsus penertiban pertanahan di Tanah Laut untuk melakukan investigasi dengan hasil 648 sertifikat tanah dinyatakan cacat hukum. Sehingga pada akhirnya giling perdana pabrik gula Pelaihari dari hasil panen 2.350 ha dapat terlaksana pada tahun 1985.
Dengan berdirinya pabrik gula Pelaihari geliat roda ekonomi Tanah Laut menjadi sangat terasa, tercatat pada tahun 1986 jumlah uang beredar di Tanah Laut berupa Tabanas, giro dan pengiriman uang naik dengan pesat 80% per tahun dari Rp. 500 juta menjadi Rp. 1,4 milyar dalam kurun waktu 1982-1985. Dan untuk deposito berjangka naik 2.000 % dari Rp.8,4 juta pada tahun 1982 menjadi Rp. 194 juta pada tahun 1985. Hal ini disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk sehubungan dengan segala aktivitas yang ada di pabrik gula, di dalam wilayah kerja pabrik telah bermukim 700 kk petani plasma eks transmigran ditambah dengan 1.437 orang karyawan pabrik tidak termasuk buruh tebang dan tenaga borongan lainnya. Jumlah ini masih akan bertambah dengan rencana kedatangan 400 kk lagi petani plasma serta 350 orang khusus penebang tebu guna memenuhi keperluan tenaga masa giling 1986 dari hasil panen seluas 4.350 ha. Perlu diketahui pada saat itu kota Pelaihari masih tergolong kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar 38.000 jiwa. Pertambahan penduduk akibat aktivitas pabrik gula ini juga mempengaruhi sektor-sektor perdagangan non formal lain seperti bertambahnya kios dan toko baru, bengkel-bengekel sepeda motor, jasa foto copy serta jasa angkutan umum lainnya.
Namun sayangnya geliat roda ekonomi Tanah Laut yang amat positip pada era tersebut tidak diikuti dengan semakin membaiknya pula kondisi manajemen pabrik gula Pelaihari. Adalah wajar apabila pada tahun-tahun pertama sebuah industri belum bisa meraup untung akan tetapi paling tidak hasil produksinya bisa menutupi ongkos-ongkos produksi seperti gaji karyawan dan pembayaran cicilan hutang. Tetapi apabila hasil produksinya tidak bisa menutupi ongkos-ongkos tersebut patutlah dicemaskan kelangsungan bisnis yang telah dibangun. Seperti halnya pabrik gula Pelaihari tercatat sejak giling perdana tahun 1985 hingga tahun 1996, pabrik ini cenderung merugi. Pada tahun 1996 keluar pula Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 1996 tentang merger PT. Perkebunan XX dan PT. Perkebunan XXIV – XXV menjadi PT. Perkebunan Nusantara XI. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh pihak manajemen tentang kisah meruginya pabrik ini. Mulai dari masalah teknis budidaya yaitu permasalahan kurang suburnya lahan perkebunan, curah hujan yang sangat tinggi 1.600 – 3.500 mm per tahun, kebakaran pada saat kemarau, serangan hama penyakit, serta kurangnya tenaga kerja. Pada tahun 1997 tercatat beberapa kerusakan kebun tebu yang diakibatkan beberapa hal, antara lain kerusakan akibat kebakaran 300 – 4.000 ha per tahun, kerusakan akibat serangan hama 400 – 2.000 ha per tahun dan kerusakan akibat hal lain yang mengakibatkan tebu tak layak giling seluas 400 – 2.500 ha per tahun. Tentang masalah tenaga kerja, sebenarnya ada sekitar 5.000 petani peserta PIR gula namun dari jumlah tersebut hanya 40% saja yang mampu memanen sehingga masih diperlukan sekitar 2.000 – 3.000 orang untuk tenaga panen. Hal tersebut masih diperparah dengan ulah tak terpuji oleh segelintir oknum PTP dengan menyelewengkan pupuk dan fasilitas perawatan lainnya yang seharusnya sampai ke lahan tebu melalui para petani peserta PIR. Ini semua mengakibatkan produksi yang tak maksimal dari kapasitas giling terpasang pabrik tebu yang seharusnya sehari bisa menggiling 4.600 ton namun hanya mampu menggiling maksimal 80 % saja dari kapasitas tersebut.
Bukan tidak ada usaha yang dilakukan oleh pihak manajemen PTP untuk mengatasi semua hal tersebut, terobosan pernah dilakukan dengan memanfaatkan Inpres Nomor 9 tahun 1975 tanggal 22 April 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Inpres ini dikeluarkan dengan maksud meningkatkan produksi gula dan meningkatkan pendapatkan petani tebu. Konkritnya, inpres ini adalah dukungan pemerintah kepada masyarakat dengan menyediakan fasilitas kredit perbankan untuk kegiatan usaha tebu. Peliknya permasalahan internal manajemen pabrik ini menghasilkan suatu rumusan bahwa TRI murni tidak dapat dilaksanakan sehingga diperlukan skema TRI khusus bagi pabrik ini. Skema TRI pola khusus ini didasarkan oleh SK Dirjen Perkebunan Nomor 44 tahun 1993 tentang TRI PIR gula Pelaihari. Hal ini setidaknya memberikan angin segar bagi PIR tebu, sehingga pihak manajemen saat itu memperkirakan bahwa kelak pada tahun 2000 pabrik akan mulai meraih keuntungan.
Terobosan tersebut ternyata tidak cukup manjur untuk mengatasi permasalahan pabrik gula Pelaihari. Hingga pada tahun 2001 pabrik gula sudah tidak mampu lagi mendanai penanaman tebu di lahan plasma, kemungkinan yang terjadi adalah bahwa kredit TRI pola khusus yang disalurkan melalui Bank Rakyat Indonesia sudah tidak dapat dikucurkan lagi. Hal ini mengakibatkan dari total 7.450 ha lahan plasma hanya dapat tertanam 1.050 ha saja. Hal lain yang memberatkan dalam sistem plasma, selama 15 tahun beroperasi pabrik gula Pelaihari memiliki kewajiban untuk membayar bagi hasil minimum kepada semua petani peserta plasma termasuk kepada petani yang tidak mau menanam tebu. Baru pada musim tanam 2000/2001 diterapkan pola bagi hasil 65 : 35 kepada petani yang mau menanam tebu, dan jika terjadi kebakaran kerugian ditanggung bersama antara petani dan pabrik gula. Dan ketentuan baru ini dirasakan beresiko bagi para petani plasma sehingga banyak diantara mereka yang menelantarkan lahannya, menjual kepada penambang emas tradisional atau menanaminya dengan komoditas lain. Mengenai petani plasma yang menanami lahannya dengan komoditas lain tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan karena ada Undang-Undang no 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman yang telah membebaskan petani untuk mengusahakan lahannya dengan komoditas pertanian berdasarkan pertimbangan ekonomisnya. Dikeluarkannya undang-undang tersebut menambah terpuruknya bukan hanya pabrik gula Pelaihari akan tetapi industri gula secara nasional.
Setelah segala daya dan upaya dikerahkan untuk kelangsungan pabrik gula Pelaihari, akhirnya pabrik ini harus menyerah kepada keadaan sehingga pabrik ini resmi dilikuidasi oleh pemerintah pada tanggal 25 Oktober 2002. PT. Perkebunan Nusantara XI mundur teratur dari bumi Tanah Laut, dan kabarnya PTPN XI tahun 2006 lalu telah menggandeng pihak Perum Perhutani dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) untuk membangun pabrik gula baru di Banyuwangi Jawa Timur dengan memanfaatkan mesin-mesin eks pabrik gula Pelaihari. Kini, paska mundurnya PT. Perkebunan Nusantara XI di Tanah Laut, pada areal eks tebu dan pabriknya telah didirikan kilang minyak sawit berikut hamparan kebun sawitnya yang diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin pada tanggal 11 November 2009. Perkebunan sawit beserta kilang minyak sawit ini dikelola oleh saudara kandung PTPN XI yaitu PTPN XIII.


Hari-hari “hamil tua” di pabrik gula

Hari-hari ini situasi pabrik gula kita seperti menghadapi istri yang lagi hamil tua. Musim giling sudah di depan mata. Pertaruhan sedang dibuat: apakah pabrik gula kita masih akan kembali melahirkan bayi yang cacat?
Tahun 2011 dari 52 pabrik gula milik BUMN tinggal 20 parik yang masih baik. Yang 32 dalam keadaan jelek dan jelek sekali. Ada pengamat yang bilang payahnya pabrik gula kita karena mesin-mesinnya yang sudah tua. Pengamat lain mengatakan kondisi payah itu karena manajemennya yang buruk. Ada juga yang bilang penyebabnya adalah tata tanam tebu yang kian sembarangan. Baca selanjutnya....

 

hostgator coupon code
http://www.indonesia-tourism.com/south-kalimantan/history.html

Blog Advertising

Sabtu, 28 Mei 2011

PIONER INDUSTRI KAYU LAPIS KALIMANTAN SELATAN 1971 - 2008 (Seri Sejarah # 2)



Kayu merupakan bahan alamiah memiliki fungsi yang amat luas yang tidak bisa lepas dalam keseharian umat manusia, fungsi yang paling sederhana dari kayu yang dapat dimanfaatkan umat manusia sejak jaman purbakala hingga kini adalah untuk bahan bakar/perapian, selain itu kayu juga berfungsi sebagai bahan dasar perkakas & perabotan hingga bahan dasar konstruksi dan alat transportasi seperti bangunan, jembatan, perkapalan dan lain-lain. Keindahan warna dan corak kayu serta sifat fisiknya yang mudah dibentuk sesuai keinginan sebagai bahan dasar perkakas serta perabotan menjadikan kayu amat disukai, terlebih lagi setelah ditemukannya kertas yang bahan baku utamanya juga berasal dari kayu, maka kebutuhan akan kayu menjadi semakin tidak tergantikan.

Teknologi kayu lapis atau plywood sebenarnya sudah dikenal sejak lama dalam sejarah umat manusia, hal ini ditandai dengan ditemukannya peti mati raja-raja Mesir kuno yang berusia lebih dari 1000 tahun dimana peti mati tersebut terbuat dari kayu yang dilapisi dengan plat kayu tipis yang bercorak eksotis. Teknologi kayu lapis juga telah dipakai oleh bangsa Cina sebelum abad 16 dengan merekatkan serutan-serutan kayu sebagai bahan dasar furniture. Di Eropa pembuatan kayu lapis dipelopori oleh perajin-perajin pembuat cabinet Perancis abad 16 yang mana kayu diserut untuk menghasilkan veneer (serutan kayu) secara manual. Prototipe mesin peraut kayu untuk membuat veneer pertama kali dibuat pada tahun 1819 oleh dua negara yaitu Rusia dan Inggris, prototipe mesin ini menghasilkan veneer dengan ketebalan 3 mm. Kayu lapis dipatenkan pertama kali oleh John K Mayo dari New York Amerika Serikat pada tanggal 26 Desember 1865, kemudian dilakukan re-issue paten pada tanggal 18 Agustus 1868. Namun dalam perjalanannya entah kenapa hak paten ini tidak pernah tidak pernah dimanfaatkan oleh Mayo. Pada skala industri komersial, pabrik kayu lapis tertua ada di Tallinn Rusia yang didirikan pada tahun 1887. Pabrik didirikan dengan tujuan sebagai pemasok utama kotak kayu lapis pengepak teh impor yang dihasilkan dari daerah koloni-koloni kerajaan Inggris.

Kayu lapis sebenarnya dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan perkakas dari kayu yang memiliki sifat ringan, kuat, awet, mudah dibentuk serta irit & efisien bahan dasar berupa kayu bulat (log) dan masih memiliki keindahan corak alamiah. Perbandingan efisiensi pemanfaatan bahan baku kayu bulat (log) untuk veneer dan kayu gergajian dari jenis kayu hutan alam dengan diameter di atas 50 cm adalah; veneer dapat memanfaatkan hingga 80% dari bahan baku sedangkan kayu gergajian maksimum hanya dapat memanfaatkan 65% dari bahan baku. Teknologi pembuatan kayu lapis ini secara sederhana adalah meraut kayu bulat (log) hingga menghasilkan lembaran-lembaran kayu tipis (veneer), kemudian lembaran-lembaran veneer tersebut disusun dengan cara merekatkan kembali lembaran veneer lapis demi lapis dalam jumlah ganjil dengan perekat yang kuat pada posisi bersilangan hingga mencapai ketebalan yang diinginkan, kemudian dilakukan penekanan pada susunan lembaran tersebut hingga lembaran-lembaran veneer melekat kuat satu sama lain, dan sebagai finishing dilakukan penghalusan permukaan lembaran kayu lapis tersebut.

Jauh sebelum industri kayu lapis diproduksi secara luas di Indonesia, pemenuhan akan kebutuhan kayu lebih ditujukan kepada keperluan akan bahan konstruksi bangunan, pembuatan kapal, bantalan rel kereta api serta bahan bakar (arang) yang kebanyakan berasal dari hutan-hutan Jati di pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda pada kurun waktu tahun 1600 an hingga 1900 an. Nampaknya pada kurun waktu tersebut pemerintah Hindia Belanda belum begitu tertarik untuk komersialisasi produk kayu secara besar-besaran, pemerintah Hindia Belanda lebih condong untuk mengembangkan produksi hasil-hasil perkebunan seperti gula, tembakau, kopra, teh, karet, rempah-rempah (lada, pala, cengkih dll) serta minyak bumi.

Industri perkayuan di wilayah Kalimantan dimulai dengan diberikannya ijin-ijin konsesi kayu dan penggergajian kayu (saw mill) yang memproduksi papan dan balok kayu dengan berbagai dimensi ukuran oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal abad 20. Hal ini ditandai dengan didirikannya industri penggergajian kayu mekanis dengan menggunakan mesin uap pada tahun 1900 an di Samarinda Kalimantan Timur, saw mill ini beroperasi dengan baik hingga tahun 1933. Kemudian pada tahun 1914 di wilayah Kalimantan Timur juga berdiri beberapa konsesi dan industri saw mill seperti; Nederlands Indische Exploitastie Mij Nunukan dengan luas konsesi 100.000 ha di Bulungan, J MacDonald Cameron dengan luas konsesi 200.000 ha juga di Bulungan, NV Java and Borneo Olie en Rubber Syndicaat seluas 4.900 ha di kawasan Sambaliung Gunung Tabor, NV Seliman Landbouw Mij seluas 22.000 ha di Sambaliung Gunung Tabor perusahaan ini merupakan perusahaan Amerika dengan industri saw mill nya yang memilki kapasitas produksi 150 m3 per hari, dan VA Cools dengan luas konsesi 6.300 ha juga di Sambaliung Gunung Tabor.

Paska kemerdekaan pada tahun 1948 berdiri sebuah saw mill modern milik Belanda bernama NV Bruinzeel Dayak Houtbedrijven yang memproduksi kayu gergajian dari jenis kayu mewah (fancy wood) Agathis di Sampit Kalimantan Tengah, pada masa itu perusahaan ini termasuk perusahaan besar dan modern yang mampu menyerap hingga ribuan tenaga kerja. Perusahaan ini telah mengekspor hasil kayu olahannya ke India dan Cina dengan menggunakan 2 armada kapal milik perusahaan yaitu Leet Bruinzeel dan Neel Bruinzeel, saw mill ini beroperasi selama 13 tahun sebelum akhirnya terkena imbas nasionalisasi dan beralih kepemilikan kepada BPU Perhutani pada tahun 1961. Pada era ini industri saw mill mulai menarik perhatian para investor lokal yang pada tahun 1950 juga mulai banyak berdiri industri yang sama diantaranya adalah; Firma Gani, Lie Sioe Wing & Perjiwa yang ketiganya beroperasi di Tenggarong, Ban Hong yang beroperasi di Long Iram serta TKL di Samarinda. Hingga pada tahun 1955 tercatat jumlah saw mill yang beroperasi di seluruh Indonesia berjumlah 284 unit dengan kapasitas 491.000 m3 kayu bulat dan telah menyerap tenaga kerja sebanyak 11.000 orang.

Negara Jepang adalah importir urutan nomor satu untuk kayu tropis yang berasal dari Indonesia, impor kayu tropis pada awalnya adalah berupa kayu bulat yang kemudian diolah menjadi kayu gergajian dan kayu lapis di dalam negara Jepang untuk memenuhi kebutuhan industri perumahan di Jepang dan ekspor. Orang Jepang sangat menggemari unsur kayu untuk membangun tempat tinggalnya, sehingga impor kayu tropis Jepang 70% terserap ke dalam industri perumahan mereka. Di Indonesia, Jepang telah memulai melakukan impor kayu sejak tahun 1937 melalui sebuah perusahaan konsesi kayu di Sangkulirang Kalimantan Timur dimana perusahaan ini dimiliki oleh perusahaan Jepang bernama Sakamasa Plywood dari propinsi Simizu Jepang. Selain Indonesia negara lain pemasok kayu tropis bagi Jepang adalah Sarawak dan Philipina, impor kayu tropis negara Jepang mencapai puncaknya pada tahun 60 an, hal ini mengakibatkan Philipina kehilangan sebagian besar hutannya dan akhirnya Philipina berubah dari pengekspor kayu menjadi pengimpor kayu. Namun Jepang dan Philipina terus melakukan kerjasama di bidang industri perkayuan dengan berinvestasi pada ijin konsesi kayu di Indonesia termasuk Kalimantan Selatan, dan perusahaan yang mayoritas sahamnya pada saat berdiri awal tahun 70 an dimiliki oleh Philipina yaitu PT. Yayang Indonesia dan PT. Aya Timber yang keduanya beroperasi di kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, dan pembeli utama kayu bulat kedua perusahaan konsesi ini adalah Jepang.

Begitu besarnya minat Jepang terhadap kayu tropis Indonesia, maka pada tahun juga 1961 telah dijajaki kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Jepang melalui sistem production sharing bidang eksploitasi kayu. Sistem ini adalah investasi pinjaman perusahaan asing kepada perusahaan Indonesia yang pengembaliannya diatur melalui bagi hasil dari ekspor barang yang diproduksi. Dari beberapa proyek production sharing di Indonesia, salah satunya berada di Pulau Laut Kalimantan Selatan. Perusahaan yang terlibat dalam proyek ini adalah antara Mitsui Overseas Development Company (MOFDECO) dari pihak Jepang dengan BPU Perhutani dari pihak Indonesia.

Mengingat besarnya nilai tambah ekonomi yang akan diperoleh apabila di dalam negeri juga mampu memproduksi kayu olahan sendiri berupa kayu lapis karena pada saat itu kayu lapis harus diimpor dari Jepang sementara bahan bakunya berasal dari Indonesia, maka mulai tahun 1959 dirintislah suatu terobosan untuk membangun industri kayu lapis sendiri di dalam negeri. Melalui Keputusan Menteri Perindustrian Rakyat bulan Januari 1959 ditunjuklah pemerintah daerah Kalimantan Selatan sebagai pemilik proyek dengan lokasi Pulau Laut, keputusan ini dikukuhkan lagi oleh Keputusan Presiden No. 108/1961 pasal VIII/C 11.

Proyek tersebut sempat lama terlunta-lunta tanpa kepastian, dari sejak pembelian mesin-mesin dari Jepang pada tahun 1960 dan memakan waktu satu tahun untuk tiba di pelabuhan Surabaya. Bertahun-tahun mesin-mesin kayu lapis tersebut ada di pelabuhan Surabaya tanpa tindak lanjut hingga tahun 1966, beberapa hal yang menyulitkan secara teknis hingga mesin-mesin tersebut lama berada di Surabaya; yang pertama adalah minimnya fasilitas pelabuhan Pulau Laut pada saat itu dimana pelabuhannya hanya dapat disandari kapal dengan bobot di bawah 1.000 ton, jalan penghubung antara pelabuhan dengan lokasi proyek harus melewati jembatan kecil yang hanya bisa dilalui kendaraan dengan bobot maksimum 6 ton, sulitnya mendapatkan tenaga buruh kasar serta minimnya dana yang dimiliki pemda Kalimantan Selatan. Mangkraknya proyek kayu lapis sedemikian lama tersebut sempat menjadi perhatian beberapa pemerintah daerah lain yang berminat dengan proyek tersebut diantaranya adalah pemda Dumai Riau dan pemda Jawa Timur, sedangkan pemerintah pusat pun mulai bimbang untuk menyerahkan proyek ini kepada Kalimantan Selatan. Namun setelah melalui perdebatan yang cukup alot, akhirnya proyek ini secara formil diserahkan kepada Kalimantan Selatan tanggal 5 Januari 1966 dan disahkan pada tanggal 16 Maret 1966.

Pemerintah daerah Kalimantan Selatan pun harus konsisten dengan disahkannya proyek tersebut, hingga sedikit demi sedikit mesin-mesin kayu lapis tersebut mulai diangkut dan mulai diinstalasi di Pulau Laut hingga 1968. Namun sekali lagi proyek ini tersandung masalah pendanaan hingga pada pertengahan tahun 1968 proyek ini terhenti dan nyaris gagal. Pemda Kalimantan Selatan terus berupaya mencari cara agar proyek ini jangan sampai gagal total, dan akhirnya Soebardjo sebagai Gubernur Kalimantan Selatan waktu itu mengambil inisiatif untuk menyerahkan proyek ini kepada pihak ketiga.

Setelah melalui beberapa pertimbangan, maka proyek ini dipercayakan kepada Hendra Mulyatno seorang pengusaha asal Medan. Dengan meninjau lokasi proyek dan melihat masalah-masalah yang membuat sulitnya proyek ini berjalan maka Hendra membuat suatu keputusan taktis yang cukup berani dengan memindahkan lokasi proyek ini dari Pulau Laut ke Banjarmasin. Hendra Mulyatno menggandeng seorang mitra dari Pontianak yang bernama Arief Sumampouw (Apau) yang memiliki hubungan baik dengan kapal-kapal asing sehingga memudahkan pengangkutan mesin-mesin eks Pulau laut ke Banjarmasin pada tahun 1971. Mengingat sebagian mesin-mesin kayu lapis ini telah terinstalasi dan mangkrak di Pulau Laut sedemikian lama sehingga sempat menyulitkan para teknisi untuk membongkar kembali karena sebagian bangunan dan mesin sudah mulai berkarat. Perkiraan waktu untuk melakukan pemindahan mesin beserta perlengkapan lain dari Pulau Laut ke Banjarmasin berikut re instalasinya akan memakan waktu 2 tahun, namun di tangan seorang ahli Malaysia bernama Foo Ser Chew yang telah berpengalaman di bidang pabrik kayu lapis Hin Giap Kualalumpur proyek pemindahan dan re instalasi dapat diselesaikan hanya dengan waktu 1 tahun. Dalam melakukan pekerjaannya Foo lebih mendahulukan instalasi bangunan pabrik beserta mesin-mesinnya sedangkan dia sendiri beserta para pekerjanya tinggal di gubuk-gubuk darurat. Lokasi pabrik ini berdiri di tepi sungai Barito yang berdampingan dengan Antasan Bromo sebuah terusan yang dikeruk sehingga mempertemukan sungai Martapura dengan sungai Barito. Posisi di tepi sungai ini amatlah strategis sehingga bahan baku kayu bulat yang berasal dari hutan dapat langsung dikumpulkan di log pond (tempat pengumpulan kayu di air) pada samping pabrik.

Setelah usai instalasi mesin dan bangunan pabrik, maka pada tahun 1972 pabrik mulai berproduksi hingga perusahaan ini dikenal sebagai pabrik kayu lapis pertama di Kalimantan Selatan, dan pabrik ini diberi nama PT. Hendratna Plywood. Pada saat awal berproduksi PT. Hendratna Plywood mempekerjakan kurang lebih 400 tenaga kerja ditambah 37 orang tenaga asing dari Malaysia. Dengan upah harian pekerja lokal bervariasi saat itu dari Rp. 250 hingga Rp. 450 per hari, pabrik ini bekerja non stop tiap hari kecuali hari Jum’at untuk memproduksi 5.000 lembar plywood per hari dengan 2 jenis plywood yaitu yang tahan air dan yang tidak tahan air. Pada tanggal 11 Juli 1973 PT. Hendratna Plywood telah melakukan ekspor perdana produk kayu lapisnya sebanyak 7.500 lembar ke negara Malaysia dan Singapura, sedangkan untuk kebutuhan dalam negeri tak kurang dari 50.000 lembar kayu lapis telah dikirim ke Jakarta. Adalah merupakan suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia saat itu, karena mulai saat itu Kalimantan Selatan Indonesia dikenal oleh dunia sebagai penghasil dan pengekspor produk kayu lapis. Meskipun begitu, persoalan bisnis bagi PT. Hendratna Plywood belumlah usai karena pada saat itu suplai bahan baku berupa kayu bulat bagi industrinya masih dibeli dari para broker kayu sehingga harga produk kayu lapisnya sendiri belum bisa stabil di pasaran.

Sektor kehutanan dan perkayuan pada era tahun 70 an telah sedemikian atraktifnya sehingga menarik banyak investor baik dari dalam maupun luar negeri untuk menginvestasikan modalnya pada sektor ini yang tentunya didukung dengan kebijakan pemerintah pada saat itu. Oleh sebab itu mulailah bermunculan indutri kayu dan ijin hak pengusahaan hutan (HPH) di Indonesia termasuk Kalimantan Selatan. Dari yang semula secara nasional hanya 45 unit HPH yang beroperasi pada tahun 1970 yang kemudian melonjak pesat menjadi 454 unit HPH pada tahun 1980, dan tercatat pada tahun 1979 Indonesia telah menduduki ranking pertama di dunia sebagai negara penghasil kayu tropis.

Masa keemasan dunia konsesi hutan dan industri kayu di Indonesia ada pada era awal tahun 80 hingga akhir 90 an, dimana pada tahun 1991 jumlah konsesi hutan legal di Indonesia telah mencapai 564 unit HPH dengan total luas 59,62 juta hektar dan pada tahun 1992 produksi kayu lapis per tahun telah mencapai 11 juta m3 dimana 80% nya adalah untuk ekspor. Jumlah tersebut tentunya membutuhkan tenaga kerja yang sangat besar dimana satu perusahaan industri kayu lapis saja mampu menyerap hingga ribuan tenaga kerja. Hal ini disebabkan karena dalam sebuah industri kayu lapis merupakan industri terpadu yang bukan hanya memproduksi kayu lapis semata, seperti halnya PT. Hendratna Plywood selain memiliki industri perekat sendiri juga memproduksi beberapa produk lain yang berhubungan dengan industri pengolahan kayu seperti blockboard/trimboard, Polyester/PVC/coverline foil overlaid plywood serta film faced & MDO. Tercatat di sepanjang tepian sungai Barito Banjarmasin selain PT. Hendratna Plywood juga berdiri industri sejenis dari beberapa perusahaan konsesi besar seperti Barito Pacific, Daya Sakti Unggul Corp, Gunung Meranti, Tanjung Raya Plywood dan lain-lain. Produk industri PT. Hendratna Plywood khususnya kayu lapis diserap oleh oleh negara-negara seperti Saudi Arabia, Jordan, Singapura, Korea, China, Thailand, Jepang dan beberapa negara eropa. Hingga tahun 2001 secara nasional negara Jepang merupakan negara tujuan utama ekspor hasil industri pengolahan kayu berupa kayu lapis dari Indonesia, pada tahun tersebut tercatat ekspor kayu lapis dari Indonesia ke negara Jepang adalah sebesar 354.455,02 m3 dengan perolehan devisa sebesar US$ 109.711.467,38.

Namun sedemikian besarnya permintaan kayu baik dalam negeri ataupun luar negeri serta melimpahnya sumber kayu telah merangsang para pelaku ilegal logging dan ilegal trading untuk melakukan aktivitas-aktivitas ilegal tersebut, sehingga seiring dengan menjamurnya perijinan konsesi hutan beserta industri pengolahan kayu awal tahun 80 hingga akhir 90 an aktivitas ilegal logging dan ilegal trading juga turut semakin marak pada sepanjang era tersebut. Maraknya aktivitas ilegal logging dan ilegal trading pada era tersebut telah menimbulkan bukan hanya isu tentang sulitnya memperoleh bahan baku kayu bulat bagi industri pengolahan kayu dalam negeri, namun juga berimbas kepada persaingan harga produksi kayu olahan di pasar internasional.

Sedemikian masifnya praktek ilegal logging dan ilegal trading di Indonesia mengakibatkan dengan cepatnya hutan Indonesia kehilangan cadangan kayunya. Tercatat pada tahun 1999 akibat aktivitas ilegal logging dan ilegal trading, Indonesia telah kehilangan 56 juta m3 kayu per tahun atau setara dengan US$ 8,4 milyar per tahun. Isu mengenai kelestarian hutan tropis sebagai paru-paru dunia dan perubahan iklim global di awal tahun 90 an sebenarnya telah menimbulkan tekanan-tekanan dari dunia internasional kepada pemerintah Indonesia agar dapat mengelola hutannya dengan prinsip-prinsip kelestarian. Tekanan dari dunia internasional ini memaksa pemerintah Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum secara serius terhadap aktivitas ilegal di bidang kehutanan. Hingga pada tahun 2007 yang lalu Indonesia menjadi tuan rumah penyelengaraan konferensi UNFCC (United Nation Framework Convention of Climate Change) ke 13 dan telah menghasilkan Bali Action Plan dengan tujuan merealisasikan kerjasama dan aksi jangka panjang perubahan iklim, sehingga dalam hal ini komitmen serius Indonesia dipertaruhkan di dunia internasional untuk bertindak dalam penanganan aktivitas ilegal di bidang kehutanan.

Namun sepertinya praktek ilegal logging dan ilegal trading yang sedemikian lamanya pada hutan-hutan di Indonesia telah menghabiskan sebagian besar cadangan kayu bulat komersial di Indonesia sehingga kesulitan untuk mendapatkan bahan baku bagi industri perkayuan terutama kayu lapis semakin menjadi-jadi. Hutan tanaman industri yang banyak dikembangkan di Indonesia lebih condong untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas, sedangkan pengembangan hutan tanaman jenis kayu perkakas sebagai bahan baku kayu lapis jumlahnya tidak sebanding (lebih kecil) dengan kapasitas industri terpasang dari pabrik-pabrik kayu lapis yang ada.

Adalah menjadi suatu beban ekonomi yang berat bagi sebagian besar industri kayu lapis di Kalimantan Selatan dengan produksi yang tidak maksimal sementara manajemen perusahaan harus tetap mengeluarkan upah bagi para pekerjanya yang jumlahnya ribuan. Satu per satu industri kayu lapis di Kalimantan Selatan kolaps dan dengan terpaksa merumahkan sebagian besar karyawannya. PT. Hendratna Plywood pun tidak luput dari kondisi yang sedemikian buruk tersebut, pada sekitar bulan Mei 2008 pabrik PT. Hendratna Plywood telah total kehabisan bahan baku kayu bulat sehingga harus merumahkan sementara ribuan pekerjanya dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan dengan tetap memberikan upah pokok mereka. Namun hanya beberapa bulan berselang sekitar Juli 2008 Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Banjarmasin telah diminta untuk memfasilitasi antara pihak karyawan PT. Hendratna Plywood yang berjumlah 4.000 orang dengan pihak manajemen perusahaan tentang penyelesaian gaji pokok selama 2 – 4 bulan selama dirumahkan yang belum dibayar oleh pihak perusahaan. Pada pertemuan tersebut pihak perusahaan menyanggupi akan membayar semua kewajibannya dengan cara akan menjual aset-aset milik perusahaan dengan pengawasan para karyawan sendiri, dan pada kesempatan itu pula pihak perusahaan menyatakan pailit. Sebuah akhir cerita yang tragis dan menyedihkan.

Adalah benar bahwa kayu merupakan sumber alam yang memiliki sifat terbarukan (renewable resources), akan tetapi faktor waktu belum menjadi perhitungan secara serius serta terlena oleh melimpahnya sumber kayu selama ini menjadi sebuah kelalaian. Meskipun terbarukan namun tetap saja sumber daya alam berupa kayu memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat pulih kembali hingga mampu menyokong kebutuhan berbagai macam industri yang menggunakan kayu sebagai bahan bakunya. (EN, dari berbagai sumber)

hostgator coupon code
http://www.indonesia-tourism.com/south-kalimantan/history.html

Blog Advertising

Kamis, 26 Mei 2011

PABRIK KERTAS MARTAPURA 1960 - 1978 (Seri Sejarah # 1)




Meskipun teknologi digital saat ini sudah menjadi hal yang lumrah dan sudah menggantikan sebagian fungsi kertas sebagai media komunikasi tertulis, namun tetap saja tidak dapat menggantikan sepenuhnya fungsi kertas di dalam keseharian aktivitas manusia. Kelebihan media kertas sebagai dokumen dibandingkan dengan media digital adalah akses yang lebih mudah dan fleksibel tanpa memerlukan teknologi tinggi, mengakses dokumen dalam format buku cetak relatif tidak cepat melelahkan bila dibandingkan bila harus menghadapi layar komputer dalam waktu yang lama. Selain berfungsi sebagai media komunikasi tertulis, kertas juga memiliki fungsi-fungsi lain yang tak kalah penting di dunia modern ini misalnya sebagai bahan pembungkus & pengemas barang, kertas tissue hingga kertas-kertas khusus yang dipergunakan sebagai bahan pembuat dokumen-dokumen berharga dan mata uang.
Bahan dasar pembuatan kertas adalah dari zat selulosa yang banyak terdapat pada organ tanaman umumnya batang (kayu), namun kertas juga dapat dibuat dari bahan tanaman lain seperti bambu, merang padi, enceng gondok, batang pisang, ampas tebu dan lain-lain. Jauh sebelum kertas ditemukan, manusia telah melakukan dokumentasi melalui tulisan atau lukisan dengan berbagai macam media seperti kulit hewan ataupun papyrus. Namun tentunya media tulis tersebut disamping mahal juga tentunya sulit didapatkan dalam jumlah besar.
Kertas pertama kali diciptakan oleh seorang yang bernama Tsai Lun dari China yang hidup di tahun 105 M pada masa pemerintahan Kaisar Ho Ti. Tsai Lun adalah seorang pegawai pengadilan kerajaan yang mempersembahkan penemuannya kepada kaisar Ho Ti, yang mana kemudian atas jasa tersebut Tsai Lun mendapatkan kenaikan pangkat dan gelar kebangsawanan. Kertas ciptaan Tsai Lun ini dibuat dengan bahan dasar bambu yang ditumbuk hingga lumat, kemudian bubur bambu tersebut disaring dan dicampur dengan kapur, terakhir campuran bubur & kapur dicetak dalam bentuk lembaran-lembaran dan dikeringkan. Penemuan bangsa Cina ini menjadi lahan bisnis yang besar hingga Cina mampu mengekspor produk kertasnya ke negara-negara Asia pada masa itu. Cara pembuatan kertas ini sendiri dirahasiakan selama berabad-abad lamanya oleh bangsa Cina, hingga pada akhirnya pada tahun 751 M beberapa tenaga ahli pembuat kertas Cina tertawan oleh bangsa Arab sehingga kemudian dengan cepat kertas diproduksi di Bagdad dan Samarkhand. Dunia barat baru mengenal teknologi ini di abad 12, dan kemudian teknologi ini berkembang pesat di barat dengan diciptakannya mesin pencetak kertas oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Johannes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg atau yang lebih dikenal sebagai Gutenberg saja pada tahun 1450.
Puluhan tahun yang lalu di Kalimantan Selatan pernah berdiri sebuah proyek pemerintah yang cukup ambisius, kontroversial dan bernuansa politis berupa Pabrik Kertas Martapura. Ambisius, dengan keterbatasan keterampilan dan keahlian tenaga lokal bidang pulp dan kertas pada saat itu. Kontroversial, lokasi yang tidak tepat jauh dari sumber bahan baku dan seharusnya mendekati alur sungai besar karena umumnya jalur transportasi barang dan jasa di daerah Kalimantan didominasi melalui sungai.
Dasar pemikiran dan pertimbangan pendirian pabrik kertas Martapura adalah tak lepas dari pertimbangan secara politis bahwa daerah Kalimantan Selatan adalah daerah yang pernah bergolak oleh pemberontakan militer oleh Ibnu Hajar yang cukup legendaris pada kurun waktu tahun 1950 an. Sehingga dalam hal ini pemerintah pusat merasa perlu memberikan “sentuhan” pembangunan dengan didirikannya pabrik kertas ini. Setting awal pabrik kertas ini didirikan mirip dengan pabrik kertas terdahulu yang ada di Pematang Siantar Sumatera Utara dengan menggunakan kayu Pinus merkusii yang banyak terdapat di sekitar danau Toba sebagai bahan bakunya. Secara formal pendirian pabrik ini sendiri didasari oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1974 tanggal 1 April 1974 yang menetapkan berdirinya Perusahaan Umum Kertas Martapura, akan tetapi sebenarnya pabrik ini sudah mulai dibangun sejak awal tahun 1960 dan terus melaksanakan pembangunan pabrik serta instalasi mesin yang sempat terhenti selama 4 tahun pada masa pemberontakan G 30 S PKI. Dan pabrik ini akhirnya selesai dibangun dan mulai beroperasi pada tahun 1970. Modal awal pendirian pabrik ini adalah berasal dari dana pampasan perang Jepang yang tertuang dalam kontrak antara pemerintah Indonesia dengan Nomura Trading Co Ltd tanggal 30 Januari 1959, dimana di dalamnya tertuang tentang suplai tenaga technical advisor, mesin-mesin beserta suku cadangnya.
Dalam perkembangannya operasional pabrik kertas ini tidak cukup menggembirakan, persoalan utamanya adalah lokasi pabrik yang tidak tepat sehingga suplai baik bahan baku berupa kayu ataupun bahan-bahan prosesing lain sering tersendat. Hal ini bisa dipahami karena pada masa itu kondisi infrastruktur jalan dan pelabuhan belum cukup memadai. Pada awalnya sumber bahan baku kertas berupa kayu, digunakan kayu yang serat kayunya mirip dengan Pinus yaitu jenis Agathis yang disuplai dari Buntok daerah hulu sungai Barito yang pada saat itu masih masuk wilayah Kalimantan Selatan. Dan di daerah Buntok pula saat itu bibit-bibit Pinus merkusii mulai ditanami guna keperluan suplai bahan baku selanjutnya. Pernah pula dilakukan suplai kayu Agathis untuk pabrik kertas ini oleh PT. Sampit Dayak sebuah perusahaan patungan swasta dan BPU Perhutani yang telah mengambil alih NV Bruinzeel Dayak Houtbedrijven (BDH) sebuah perusahaan konsesi kayu milik Belanda yang telah beroperasi sejak tahun 1948 di Sampit Kalimantan Tengah. Jika menilik dari kondisi fisik populasi pohon-pohon pinus yang ada sekarang di kawasan Mentaos Banjarbaru, maka hampir dapat dipastikan bahwa populasi pohon pinus tersebut adalah peninggalan proyek pabrik kertas Martapura.
Sengketa administratif wilayah Buntok yang kemudian masuk menjadi wilayah Kalimantan Tengah telah menimbulkan persoalan baru terhadap suplai bahan baku, sehingga perlu inovasi dalam mengatasi masalah bahan baku ini. Dan ternyata para manajer pabrik kertas ini cukup jeli dan cerdik sehingga sebagai gantinya dipakailah batang-batang kayu karet tua yang akan diremajakan dari ribuan hektar areal Perusahaan Perkebunan Negara Danau Salak sebagai bahan baku pengganti, dengan konsekuensi kapasitas produksinya menjadi jauh menurun hanya 5 ton per hari dan mutu kertasnya juga lebih rendah. Peristiwa itu terjadi pada sekitar tahun 1972, dan pada saat itu tercatat ada sekitar 150 orang karyawan yang bekerja pada pabrik kertas ini. Meskipun dinilai merugi dengan biaya operasional yang tinggi dengan tingkat produksi yang rendah, pabrik kertas ini masih dapat beroperasi karena mendapatkan sokongan dana pemerintah melalui anggaran Pembangunan Lima Tahun (Pelita).
Keadaan menjadi semakin buruk terjadi sekitar tahun 1976, pada saat itu pabrik kertas ini total berhenti beroperasi dengan tetap menggaji 227 orang karyawannya sambil menunggu penyelesaian selanjutnya. PT. Goenawan dari Surabaya sebagai investor dalam negeri pada tahun 1978 pernah disebut-sebut akan membeli perusahaan ini, sedangkan PT. Goenawan sendiri adalah pemegang pemasaran dari produk pabrik kertas ini berupa kertas HVS, duplikator (kertas buram) serta kertas pembungkus. Keresahanpun terjadi diantara para karyawan pabrik kertas ini jika kepemilikan perusahaan beralih, karena mayoritas karyawan mengharapkan agar perumahan yang berjumlah 120 unit yang mereka tempati saat itu dapat mereka beli dengan uang pesangon mereka. Hingga pada puncaknya setelah menimbang secara teknis dan ekonomis bahwa perusahaan pabrik kertas ini tidak dapat dipertahankan lagi maka pemerintah mengambil keputusan untuk membubarkan perusahaan ini melalui Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1978 tanggal 23 September 1978 tentang Pembubaran Perusahaan Umum Kertas Martapura, dan dengan demikian semua aset dan kekayaan perusahaan tersebut diambil kembali oleh negara. Dan kini pada lokasi eks Pabrik Kertas Martapura tersebut telah berdiri megah sebuah Rumah Sakit Umum Daerah Ratu Zalecha Martapura.
Secara praktis pabrik kertas Martapura beroperasi dan berproduksi hanya dalam waktu yang tidak lama yaitu selama 6 tahun dan tidak pernah mencapai puncak kejayaannya sebagaimana layaknya sebuah pabrik. Untuk ukuran sebuah pabrik besar, waktu 6 tahun pasti belumlah ada profit yang didapatkan bahkan titik impas pun mungkin belumlah tercapai. Sementara hal yang berbeda terjadi pada beberapa industri yang bermula dari industri rumah tangga (jamu atau rokok) dan kemudian membesar menjadi sebuah industri skala nasional yang telah diwariskan oleh beberapa generasi terdahulu dan terus bertahan hingga hari ini. Sangat disayangkan memang jika pada akhirnya pabrik kertas Martapura tidak berumur panjang, karena hingga saat ini bisnis industri bubur kertas masih tetap menggiurkan terutama bagi dua raksasa pulp Indonesia yaitu Sinar Mas Group dan Raja Garuda Mas Group yang keduanya giat berekspansi untuk memperluas areal tanaman mereka. (EN, dari berbagai sumber)
hostgator coupon code
http://www.indonesia-tourism.com/south-kalimantan/history.html
LINKAGES



Blog Advertising