Sabtu, 23 Mei 2015

SKETSA BORNEO JAMAN KOLONIAL (TIVADAR POSEWITZ - 1892)


Erwan Nurindarto – Tulisan berikut merupakan terjemahan dari chapter awal sebuah buku karya Tivadar Posewitz, seorang pengelana geologist dari Budapest Hungaria. Buku ini diterbitkan pada tahun 1892 dengan judul asli Borneo Its Geology and Mineral Resources. Beberapa komentar saya di sini bukanlah merupakan hasil analisa sebagai seorang ahli sejarah, namun lebih kepada kesimpulan pribadi atas tulisan Tivadar ini. Bermula dari seputar pertanyaan kenapa British ada (lebih suka) di bagian Utara dan Dutch ada di bagian bagian Selatan dari Borneo? Padahal jika ditilik dari potensi, bagian yang menjadi wilayah kekuasaan Dutch lebih kaya akan sumber alam? British sepertinya sedang merancang sebuah jalur pelayaran perniagaan strategis dengan melalui wilayah perairan Selat Malaka, Singapura, perairan Sarawak dan Sabah yang semuanya di bawah kekuasaan Bristish. Jalur ini menjadi strategis karena menghubungkan pelayaran dari Lautan Pasifik (Amerika), Jepang, China, Philipina dan dalam hal ini termasuk wilayah Dutch di nusantara dan Australia untuk menuju ke wilayah Timur Tengah dan Eropa atau sebaliknya. Timbul berbagai pertanyaan lain lagi ketika membaca karya Tivadar ini, mengapa kesultanan Brunei begitu “bermurah hati” jika tidak bisa dibilang begitu rapuhnya sehingga dengan mudah memberikan Sarawak kepada James Brooke, Sabah kepada Sultan Sulu serta Pulau Labuan kepada British North Borneo Company? Tapi yang jelas Kesultanan Brunei memiliki alasan hutang budi untuk itu semua. Lain halnya dengan wilayah Dutch Borneo yang terkesan relatif lebih ‘sulit’ ditundukkan oleh kerajaan Belanda, dengan perlawanan raja-raja Banjar yang benar-benar menguras tenaga kerajaan Belanda pada kurun waktu 1859 – 1863, hingga kesan malu-malu dan segan terhadap Sultan Kutei dengan tidak menempatkan pasukan militer kerajaan Belanda di wilayah itu. Jika pada wilayah British di Utara Borneo ada kesan masyarakat happy dan tidak ada masalah dengan penguasa British di wilayah itu bahkan mengangkat Brooke sebagai raja mereka, mungkin karena British awalnya datang sebagai penolong para raja atau sultan untuk menumpas para bajak laut, perompak serta memadamkan perang antar suku di wilayah tersebut, mungkin itu yang merebut simpati rakyat terhadap kerajaan British, belum lagi misi dari British North Borneo Company yang mencanangkan memelihara perdamaian & keamanan wilayah, memadamkan pertikaian antar suku, menghapuskan perbudakan, memberikan sarana tansportasi, pendidikan & kesehatan kepada masyarakat, dan membuka lapangan kerja sektor pertanian, perkebunan tembakau dan karet serta industri kayu. Berbeda dengan Dutch yang datang dengan langsung membuat sistem monopoli perdagangan lada di tanah Banjar, serta kerajaan Dutch yang terkesan kurang urus dengan wilayah koloninya dengan memberikan sentuhan pembangunan seadanya serta tidak berusaha untuk merebut simpati rakyat.
Tivadar Posewitz (1892). Kurang lebih 2/3 bagian dari pulau Borneo di bawah kendali kerajaan Belanda terutama Borneo bagian Tenggara (Kalsel, Kalteng, Kaltim) dan Borneo bagian Barat (Kalbar), sementara bagian Utara Borneo terbagi menjadi 3 wilayah kekuasaan yaitu Sarawak di bawah kendali Rajah Brooke, wilayah Kesultanan Brunei serta wilayah Sabah yang merupakan wilayah atau teritori dari British North Borneo Company.

Wilayah Dutch Borneo
Wilayah ini dibagi menjadi 2 Keresidenan yaitu bagian keresidenan bagian Tenggara (South East Borneo) dan keresidenan bagian Barat (West Borneo) yang masing-masing keresidenan dipimpin oleh seorang Resident (pejabat setingkat Bupati) sebagai pejabat sipil.


South East Borneo memiliki luas 361.653 kilometer persegi dengan jumlah populasi pada tahun 1880 sebanyak 645.772 jiwa atau 2,4 jiwa per kilometer persegi. South East Borneo dengan ibukota Bandjermassin merupakan kota tempat kedudukan Residen yang berada di tepian sungai Martapura. Keresidenan ini terbagi lagi menjadi 5 sub Residen dengan para Controller sebagai person in charge nya;
Martapura dengan para Controller di Batti-Batti, Pengaron dan Rantau
Amunthai dengan para Controller di Kendangan, Barabei dan Tandjong
Marabahan (yang disebut sebagai Dusson & Dyak country) dengan para Controller di Kwala Kapuas, Buntok dan Muara Teweh
Sampit dipimpin oleh seorang Independent Controller
Kutei (Samarinda) dengan para Controller di Pulau Laut dan St Lucia Bay (sebuah teluk di sekitar pulau Nunukan dan pulau Sebatik).

Kekuatan militer terdiri atas satu Garrison (garnisun) - Batalion, dimana satu garnisun kecil ditempatkan pada setiap kota di South Borneo kecuali Batti-Batti (Tanah Laut) dan Sampit. Sementara East Borneo yang tidak secara langsung berada di bawah kerajaan Belanda tidak ditempatkan kekuatan militer kerajaan Belanda.

West Borneo memiliki luas 156.506 kilometer persegi dengan populasi pada tahun 1880 sebesar 375.412 jiwa atau 2,6 jiwa per kilometer persegi. Secara administratif West Borneo dibagi menjadi beberapa distrik;
Mempawa dengan seorang Controller
Landak (Ngabang) dengan seorang Controller
Wilayah Montrado dengan seorang Asisten Residen, yang terbagi atas Montrado dengan seorang Controller, serta wilayah Lara, Lumar Benkajang dengan seorang Controller
Sambas dengan seorang Asisten Residen
Sub Distrik Pemangkat dengan seorang Controller
Sungei Kakap dengan seorang Controller
Tajan dengan seorang Controller
Sintang dengan seorang Asisten Residen
Sub Distrik Sukadana; Melawi (Nanga Pinoh) dan Boven Kapuas (Smitau) dengan seorang Controller.
 

Ibukota dan tempak kedudukan Residen ada di Pontianak di tepian sungai Kapuas yang juga merupakan perlintasan garis ekuator. Kekuatan militer juga terdiri atas satu Garnisun - Batalion yang ditempatkan tersebar di setiap kota.

Seperti diketahui bahwa kerajaan Belanda telah berada di wilayah Brunei di pesisir Utara Borneo sejak tahun 1600, empat tahun kemudian mereka telah berada di pesisir Barat (wilayah Kalbar). Pada tahun 1608 mereka mendirikan sebuah pabrik di Sukadana, dan masuk ke wilayah Sambas. Pada tahun 1778 wilayah-wilayah tersebut dikelola oleh East India Company, namun pada awal tahun 1791 aset dan pemukiman tersebut ditinggalkan.

Tahun 1660 kerajaan Belanda mengunjungi Bandjermassin sebagai kota terbesar di South Borneo. Belanda sempat mendirikan sebuah kantor dagang disini yang utamanya adalah untuk perdagangan komoditas lada. Namun fasilitas dagang tersebut juga kembali ditinggalkan pada tahun 1669. Memasuki abad 18 beberapa usaha telah dilakukan oleh pihak kerajaan Belanda untuk mendapatkan pijakan yang kokoh dalam usaha perdagangan di South Borneo, tahun 1787 diketahui bahwa East India Trading Company dan para pemimpin lokal memiliki hak-hak khusus untuk memonopoli komoditas perdagangan lada sehingga banyak mengurangi banyak keuntungan yang seharusnya didapat oleh kerajaan Belanda. Kondisi demikian yang menyebabkan Bandjermassin kembali ditinggalkan sebagai kantor dagang pada tahun 1809.

Pada tahun 1818 dalam jeda pemerintahan kerajaan Inggris setelah kalah perang dengan Napoleon dari Perancis, otomatis Belanda menguasai seluruh wilayah Borneo (termasuk Sabah, Sarawak & Brunei), pada masa ini Belanda mulai memiliki pijakan yang kokoh di wilayah Borneo bagian Selatan dan Barat. Namun demikian pengaruh pemerintahan kerajaan Belanda terasa sangat lambat di kerajaan Bandjermassin. Pada tahun 1824 seluruh wilayah kerajaan dengan pengecualian areal keraton dan sekitarnya yang padat penduduknya telah dikuasai oleh pemerintahan Hindia Belanda. Setelah perang pada kurun waktu 1859 – 1863 kerajaan besar dan kuat Bandjermassin telah dihapuskan serta menjadikan seluruh wilayah kerajaan dibawah pemerintahan Hindia Belanda dengan sejumlah pakta-pakta perjanjian yang memuat peraturan-peraturan dari pihak Belanda. Tahun 1844 telah dikirim pejabat sipil pertama Belanda (Von Dewall) ke wilayah Kutei.

Saat ini (1880) seluruh wilayah South Borneo kecuali Kotaringin (Kotawaringin) telah di bawah kekuasaan Belanda, sementara wilayah East dan West Borneo para pangeran (lokal leader) masih dibiarkan berkuasa meskipun secara tidak langsung para pangeran tersebut merupakan para ‘kontroler’ Belanda.

Wilayah North Borneo (Sarawak)Kerajaan Rajah Brooke menguasai bagian Barat dari North Borneo yang mana bagian Selatan North Borneo ini berbatasan dengan wilayah Belanda di West Borneo dan pada bagian Timur North Borneo berbatasan dengan wilayah Kerajaan Brunei. Wilayah North Borneo terbagi menjadi tiga division. Bagian Barat yang meliputi sepanjang sungai Sadong yang terdiri atas beberapa sub distrik seperti Lundu, Sarawak dan Sadong. Bagian tengah terdiri atas beberapa sub distrik seperti Batang Lupar, Saribas dan Kalukah hingga sampai muara sungai Rejang. Bagian Timur yang merupakan bagian paling luas hingga mencapai wilayah perbatasan Brunei terdiri atas dua sub distrik yaitu Mukah dan Bintulu.

Tiap division dalam wilayah North Borneo dipimpin oleh seorang pejabat sipil yang disebut Residen. Untuk menjaga keamanan terdapat pasukan kecil militer yang tersebar di 15 benteng, dan tiap benteng tersebut dilengkapi kapal/perahu bersenjata (gunboats). Wilayah kerajaan ini memiliki luas 40.000 mil persegi dengan jumlah populasi pada tahun 1883 sebanyak 300.000 jiwa atau 3,6 jiwa per kilometer persegi. Tercatat pada tahun 1877 hanya terdapat 240.000 jiwa. Berikut adalah datanya;
Sarawak memiliki populasi 30.000 jiwa
Batang Lupar dan Rejang memiliki populasi 105.000 jiwa
Wilayah Third Division memiliki populasi 20.000 jiwa
Wilayah pedalaman memiliki populasi 90.000 – 100.000 jiwa.

Penduduk kerajaan North Borneo terdiri atas tiga suku yaitu suku Melayu, Dyaks (Dayak) dan China (terdapat 2000 jiwa saat itu). Pendapatan pemerintah pada tahun 1883 adalah £271.000 dan tahun 1877 hanya £40.000. North Borneo dengan ibukota Kuching Sarawak sekitar 23 mil dari pesisir berada di tepi sungai Sarawak dan di atas sebuah delta kecil di sungai Sarawak. Beberapa benteng atau kubu pertahanan yang secara resmi digunakan adalah;
Bintulu yang berada di muara sungai Bintulu
Kabong yang berada di muara sungai Kalakah
Mukah yang berada di muara sungai Mukah
Matu di tepi sungai Matu sekitar 5 mil dari pesisir
Oya berada satu setengah mil dari sungai Oya
Kampung Rejang berada di muara sungai Rejang
Simunjan di tepi sungai Sadong, 18 mil dari pesisir
Saribas di tepi sungai Saribas, 80 mil dari pesisir
Siba di tepi sungai Rejang, 60 mil dari pesisir
Tatau di tepi sungai Tatau
Simanggang di ttepi sungai Batang Lupar, 60 mil dari pesisir
Claude Town di tepi sungai Barram, 60 mil dari pesisir
Sebuah station 22 mil dari pesisir, di tepi sungai Trusan

Asal muasalnya Sarawak adalah milik kesultanan Brunei, dan mendapatkan kemerdekaannya sebagai sebuah kerajaan pada tahun 1841 dengan Sir James Brooke seorang Englishman sebagai foundernya. Sir James Brooke, lahir di Inggris tahun 1803 memasuki dinas ketentaraan di koloni India (Anglo-Indian service) sebagai kadet, namun mendapatkan tugas tempur di Eropa dan mendapatkan luka tembak dalam pertempuran Eropa. Sekembalinya dari Eropa ke India, dia pun harus segera pergi ke China dan sakit-sakitan. Dalam perjalanannya ia mulai tertarik untuk mengenal dan mempelajari tentang kepulauan Melayu. Dia mulai merencanakan untuk memajukan perdagangan budak, memberantas para perompak & bajak laut serta mengenalkan peradaban kepada penduduk asli. Hingga pada tahun 1838 dia bisa mulai menjalankan rencana tersebut pada saat dia dikirim ke North Borneo dengan kapal perang, yang ketika itu sedang terjadi huru hara (pemberontakan) di Sarawak. Dalam tugasnya dia mempunyai misi untuk membantu Rajah Mudah Hassin guna memadamkan pemberontakan serta memulihkan keadaan, yang pada akhirnya Sarawak pun dihadiahkan kepadanya. Dalam menjalankan rencananya tersebut Brooke telah memperkenalkan dan mengaplikasikan apa-apa yang telah berlaku di negerinya (Inggris). Setelah kematiannya (1863) kepemimpinan James Brooke di Sarawak digantikan oleh keponakan laki-lakinya yaitu Charles Johnson Brooke.

Pulau Labuan Pulau ini masuk dalam wilayah Borneo, terletak pada pintu masuk teluk Brunei yang termasuk dalam wilayah koloni Inggris. Koloni ini diperintah oleh seorang Gubernur yang mana pulau ini memiliki panjang 18 km dan lebar 8 km dan dikelilingi oleh pulau-pulau kecil; Kuraman, Rusong, Rusukan Besar, Rusukan Kecil, Enoe, Pappan dan Daat. Labuan merupakan tempat persinggahan penting bagi kapal-kapal uap untuk mengisi bahan bakar batubara dalam perjalanannya menuju Singapura dan China. Pulau ini menjadi milik kerajaan Inggris pada tahun 1846, sebagai hasil hukuman terhadap Sultan Brunei yang terlibat aktifitas pembajakan. James Brooke yang ditunjuk sebagai penengah memutuskan agar pulau Labuan diserahkan kepada kerajaan Inggris untuk dibangun dan dibenahi.

Wilayah Sabah
North Eastern Borneo merupakan wilayah yang dikelola dan dimiliki oleh Bristish North Borneo Company di bawah perlindungan kerajaan Inggris yang memiliki luas 23.000 mil persegi. Terdapat sebuah bandar pelabuhan yang sangat bagus, dan merupakan sebuah teluk dengan bandar pelabuhan paling bagus di seluruh wilayah Borneo. Wilayah bagian Barat Daya berbatasan dengan wilayah kesultanan Brunei serta wilayah bagian Selatan berbatasan dengan wilayah Dutch Borneo (East Borneo). Secara administratif wilayah Sabah dibagi menjadi empat propinsi yaitu; Keppel, Dent, Alcock dan East Coast. British North Borneo Company sebagai pengelola wilayah Sabah didirikan pada tahun 1881 oleh Dent yang memperoleh haknya dari Baron Overbeck yang mana wilayah pengelolaan ini bertambah hingga sungai Sibuco di bagian Timur dan sungai Kimanis di bagian Barat. Pengelolaan wilayah Sabah oleh British North Borneo Company secara resmi di sah kan oleh kerajaan Inggris pada tanggal 1 November 1881. Pada tahun 1885 wilayah ini bertambah luas lagi sekitar 100 mil dari sungai Kimanis ke sungai Sipitong dengan mengambil alih 3 distrik milik kesultanan Brunei.

Notes (tidak dalam buku Tivadar):
Wilayah Sabah awalnya merupakan bagian dari wilayah kesultanan Brunei yang dihadiahkan kepada kesultanan Sulu Mindanao Philipina yang telah membantu memadamkan pemberontakan di kesultanan Brunei. Terjadi perpindahan pengelolaan dengan sistem konsesi 10 tahunan wilayah Sabah dari Sultan Sulu pada tanggal 22 Januari 1878 kepada seorang konsul Kerajaan Hungaria di Hongkong yang bernama Baron Gustav Von Overbeck, untuk mendapatkan modal guna mengelola wilayah Sabah Overbeck mendapatkan dana dari Dent bersaudara (Alfred & Edward) yang merupakan pengusaha besar dari Inggris. Karena tidak mendapatkan dukungan dari kerajaan Hungaria atas pengelolaan wilayah Sabah, Overbeck pernah ingin menjual wilayah Sabah kepada Italia, namun usaha itupun tak berhasil. Akhirnya Overbeck meninggalkan Sabah pada tahun 1880 serta menyerahkan pengelolaan sepenuhnya kepada Dent bersaudara. Dent bersaudara ini yang kemudian mendirikan British North Borneo Company yang disupport oleh Sir Rutherford Alcock (konsul Inggris di China) dan Admiral Sir Harry Keppel (Komandan kapal perang HMS Dido yang beroperasi East India dan China).


Wilayah Kesultanan Brunei
Lebih dari setengah abad yang lalu seluruh wilayah North Borneo dari Cape Datu hingga sebelah Barat sungai Sibuco di wilayah Timur adalah milik kesultanan Brunei. Yang mana dari tahun ke tahun sedikit demi sedikit wilayah kesultanan Melayu ini berkurang wilayahnya oleh konsesi Inggris.

Pada tahun 1841 adalah mula pertama wilayah kesultanan Brunei berkurang dari Cape Datu hingga sungai Samarahan, wilayah ini diambil alih oleh Sir James Brooke. Dan kemudian pada kurun waktu 1861 – 1862 serta beberapa tahun sesudahnya terjadi pergeseran batas wilayah Inggris (Sarawak) yang semakin ke arah Timur ke dalam wilayah Brunei. Perubahan/pergeseran wilayah ini dapat dilihat pada peta Crocker dan F Hatton.

Pada tahun 1846 pulau Labuan diserahkan kepada kerajaan Inggris oleh sultan Brunei. Tahun 1877 dan 1878 sebuah perjanjian antara British North Borneo Company dengan sultan Brunei dibuat, dalam perjanjian ini disebutkan bahwa wilayah mulai sungai Sibuco di bagian Timur hingga sungai Kimanis di bagian Barat diserahkan kepada British North Borneo Company. Pada tahun 1885 batas wilayah kesultanan Brunei di bagian Barat digeser hingga sungai Sipitong. Saat ini (1892) wilayah kesultanan telah mengecil hanya meliputi sekitar muara sungai Brunei dan dua sungai kecil lainnya yaitu sungai Lawas dan Mengalong. Ada beberapa bagian kecil wilayah di sekitar teluk Gaya yang masih milik sultan Brunei, namun sepertinya akan segera dibeli oleh British North Borneo Company.




google-site-verification: googleee90f26ede4363e2.html