Rabu, 08 Juli 2020

Mengajar Di Tempat Kami


...abot sanggane..tugase bapak guru...
(berat beban tugasnya bapak guru)

saben dinane mbimbing putra putrine...
(setiap hari membimbing putra putrinya)

...pancen pak guru...kudu sabar atine...
(memang pak guru mesti sabar hatinya)

Bungah lan susah wis dadi tanggungane...
(senang dan susah sudah menjadi tanggungannya)

Koes Plus, 1974

Penggalan lirik lagu Pak Guru milik Koes Plus itu menginspirasi saya untuk menuliskan sedikit kisah dari sekian banyak pengalaman mengajar adik perempuan saya yang menjadi guru SMP sejak tahun 2010 di sebuah pedesaan Kalimantan Selatan. Pengalaman keseharian sebagai seorang guru itu sering dituturkan secara lisan oleh adik saya ketika kami kumpul-kumpul bareng dengan keluarga, berikut kisahnya.

Sekolahan kami adalah sekolah menengah pertama negeri di daerah pedesaan yang tidak terlalu terpencil sebenarnya namun cukup jauh dari keramaian kota, berada pada bagian hulu sebuah sungai besar. Sebagian besar daerah ini merupakan kawasan perbukitan yang lahannya dimanfaatkan oleh penduduk sebagai perkebunan karet, sawit atau buah-buahan seperti durian, langsat, cempedak, petai dan lain-lain. Bila sedang jatuh musim buah, di daerah ini sangatlah melimpah akan berbagai jenis buah-buahan tersebut.

Daerah ini juga sejak jaman kolonial Belanda sudah dikenal kaya akan deposit mineral batubara, oleh sebab itu banyak pula perusahaan tambang yang beroperasi di sini. Meskipun demikian penduduknya masih relatif jarang, jarak antar pemukiman desa atau dusun berjauhan hingga untuk menuju dari satu desa ke desa lain harus melalui perkebunan luas atau hamparan hutan belukar yang lumayan sunyi. Cukup beruntung bagi kami karena di daerah ini tidak terdapat satwa liar hutan seperti gajah atau harimau.

Berjarak kurang lebih 2 jam perjalanan dari ibu kota kabupaten dengan mengendarai sepeda motor. Perjalanan menuju sekolahan kami dimulai melewati ruas jalan raya propinsi yang beraspal hotmik sejauh setengah jam perjalanan, sisa perjalanan berbelok meninggalkan aspal jalan raya propinsi dan mulai memasuki jalan pedesaan masih beraspal cukup baik, namun di beberapa tempat masih diselingi dengan jalan tanah berbatu-batu, jembatan rusak dan  menyeberangi sungai.

Becek, licin dan banjir ketika hujan atau debu tebal jalan tambang batubara adalah keseharian yang harus dilewati jika menuju ke sekolah kami. Ban kempis karena bocor ataupun sepeda motor mogok adalah hal yang paling dikuatirkan dalam perjalanan bila sedang menunaikan tugas mengajar di sekolah kami.

Berjumlah total 80 siswa dari kelas VII hingga kelas IX, pada tiap tahun ajaran baru sekolah kami dapat menerima maksimal 20 - 30 siswa. Siswa siswi sekolah kami semua adalah anak-anak masyarakat sekitar, rata-rata orang tua mereka adalah pedagang, petani peladang atau pun berkebun karet, ada satu dua orang yang tuanya adalah pegawai di kantor desa ataupun tokoh-tokoh dalam struktur adat masyarakat setempat. Usia siswa siswi sekolah kami adalah sama dengan usia siswa sekolah menengah pertama pada umumnya, kalaupun ada yang usianya lebih tua dari usia siswa sekolah menengah pertama itu hanya satu atau dua orang saja.

Tatanan sosial masyarakat lingkungan desa di tempat kami mengajar menunjukkan bahwa antar warga masih memiliki ikatan kuat dalam keluarga/kelompok, serta masih banyak merujuk kepada aturan-aturan ataupun norma-norma keyakinan & adat yang telah mereka ikuti secara turun temurun, sehingga terkadang terdapat sikap-sikap resisten dari para siswa & masyarakat desa terhadap hal baru yang tidak biasa mereka lakukan ataupun hal-hal yang tidak sejalan dengan pemikiran/persepsi mereka.

Dengan demikian para pengajar di sekolah kami bukan saja bertanggung jawab secara akademis terhadap para siswa, namun ada semacam tugas tambahan yang tak tertulis seperti harus memperkenalkan sikap yang baik, memberi contoh berkomitmen & kedisiplinan, serta mengajarkan sikap terbuka & bertoleransi kepada para siswa.

Para pengajar sebagai orang yang dapat dikatakan pendatang tentu saja tidak serta merta langsung dapat diterima secara lahir batin oleh para siswa dan orang tua siswa, sehingga perlu melakukan pendekatan-pendekatan kepada para siswa untuk meraih simpati dan respek agar dapat diterima sebagai bagian dari kelompok siswa dan masyarakat setempat.    

Seperti pada umumnya, siswa sekolah menengah pertama secara petumbuhan sedang berada pada usia pubertas yang sedang berada pada masa-masa labil baik secara nalar & pemikiran, psikologis (emosional) dan secara biologis. Faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi dalam pembentukan sikap dan karakter para siswa kami seperti; lingkungan perkebunan & hutan, tuntutan & pekerjaan fisik untuk membantu orang tua, serta pola berkomunikasi dan pergaulan dalam kelompok/keluarga.

Tidak jarang para pengajar harus menghadapi siswa yang bertindak ‘intimidatif’  di dalam kelas terhadap pengajar dengan sedikit pembangkangan, berbicara dengan intonasi keras ataupun gurauan yang tidak semestinya terhadap orang yang lebih tua dimana hal ini mungkin dianggap biasa dalam pergaulan kelompok/keluarga, ataupun sikap pamer ‘sok jagoan’ ketika sedang beraktifitas saat ada pengajar di sekitarnya. 

Minimnya cita-cita untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya karena menganggap berkebun/berladang ataupun berdagang sudah cukup untuk dapat menghasilkan uang, kegiatan bersekolah bagi masyarakat di sekitar sekolah kami dapat dikatakan belum menjadi sebuah kesadaran penuh atau menjadi sebuah kebutuhan/keharusan, dengan kata lain terkadang kegiatan bersekolah masih dikalahkan dengan urusan lain misalnya membantu mengetam padi saat panen di ladang, ataupun kegiatan kegamaan/adat istiadat warga setempat.  Sehingga kejadian tidak masuk sekolah atau ijin massal, terlambat masuk sekolah, tidak masuk tanpa ijin/alasan saat ujian semester hingga putus sekolah karena pernikahan dini masih terjadi.

Namun demikian ada sisi baik dari siswa siswi di sekolah kami, karena mereka umumnya sering beraktivitas di luar rumah seperti membantu orang tua di kebun atau di ladang maka rata-rata siswa siswi kami disamping memiliki fisik yang kuat, mereka amat suka dengan kegiatan di luar ruang kelas seperti kegiatan olah raga ataupun kegiatan gotong royong bersih-bersih lingkungan sekolah. Dan kami para pengajar pun ‘tidak terlalu segan’ meminta siswa siswi kami untuk melakukan aktivitas pekerjaan fisik luar ruangan seperti membersihkan halaman sekolah, menebas semak/rumput, mengecat ruangan ataupun hal lainnya.

Menghadapi kondisi yang seperti ini kami para pengajar sudah memiliki kesadaran bahwa bersikap tegas tanpa kompromi adalah bukan tindakan yang bijaksana, kondisi ini mengharuskan kami  memiliki kelenturan bersikap dan bertindak serta beradaptasi dengan sedapat mungkin berupaya tetap menjalankan dan menanamkan ketertiban secara akademis maupun administratif kepada para siswa siswi kami.

Terlalu berperasaan atau sensitif tentunya juga akan membuat tidak nyaman bila berhadapan dengan siswa siswi di sekolah kami. Belum dimilikinya kesadaran sepenuhnya tentang bersekolah atau minimnya cita-cita untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya maka kami para pengajar tidak berekspektasi secara berlebihan dalam hal akademis terhadap para siswa siswi kami, siswa rajin hadir bersekolah tiap hari hingga selesai menghadapi ujian akhir kelulusan sudah cukup menggembirakan bagi kami.   

Sejatinya Ndeso Itu Menghibur

Ndeso berasal dari kata deso atau kampung, ‘n’ dalam dialek Jawa lazim ditambahkan sebagai awalan kata deso sehingga merubah arti kata deso itu sendiri menjadi sebuah pertegasan gambaran profil orang desa kluthuk (totok) dengan tampilan busana seadanya, tanpa riasan, serta sikap yang lugu dan serba pakewuh (sungkan) & canggung.  

Itu adalah gambaran profil orang ndeso jaman dulu pada kurun waktu hampir 5 dasawarsa silam. Kala itu orang-orang ndeso dari kawasan-kawasan penghasil sayur mayur seperti kol, kentang, wortel dan tembakau yang umumnya berada di lereng-lereng gunung Sindoro, Merapi atau Merbabu turun ke kota untuk menjual hasil kebun mereka.

Profil orang ndeso itu dapat dikenali dengan ciri busana (catatan: semuanya lusuh); si bapak busananya kain sarung yang dikalungkan di leher, memakai caping, peci atau ikat kepala batik, bajunya kaos oblong dengan sorjan, celana jawa warna hitam biasanya, tanpa alas kaki serta merokok tembakau lintingan klembak menyan. Si ibu yang dipanggil simbok menggunakan jarik atau kain batik, kemben (penutup dada), berkebaya lurik, rambut disanggul sederhana dan biasanya menyusur tembakau (menginang).

Dan si anak yang kadang diajak serta turun ke kota umumnya maaf dekil dan nampak tidak sehat (kurus, perut buncit, rambut kemerahan serta beringus), busananya pun seadanya, lebih sering mengenakan pakaian seragam sekolah seperti baju pramuka atau seragam SD Inpres (merah putih) dan mungkin itu busana terbaik yang mereka miliki. Mereka berkomunikasi dengan bahasa yang amat sopan dalam kromo inggil (Jawa halus) saat melayani pembeli dagangan mereka.

Gambaran profil orang ndeso itu tentunya sudah teramat jauh dengan orang desa masa kini yang profilnya tak jauh-jauh amat dengan orang kota, soal mode busana; selalu up date, soal pendidikan; banyak orang desa kini yang menyandang gelar sarjana bahkan lulusan luar negeri, dan umumnya orang desa kini yang sudah tidak asing dengan teknologi internet & gadget.

Makna ujaran ndeso atau ndesit (ndeso pakai banget) awalnya adalah sekedar ujaran pendek untuk menggambarkan sikap lugu dan canggung orang ndeso itu sendiri pada saat beraktifitas di kota, seperti ragu-ragu dan maju mundur saat akan menyeberangi jalan raya, ragu dan takut-takut di depan toko baju atau sepatu saat akan membeli ataupun nampak kuatir berlebih dengan terlalu banyak bertanya kepada sopir angkot yang ditumpangi mengenai arah atau tempat yang dituju. Namun seiring dengan perjalanan waktu, telah terjadi pergeseran makna ujaran ndeso ini menjadi semacam ‘serapah’ yang dianggap ringan sehingga sering tanpa sadar terucapkan oleh seseorang .

Kejadian yang dapat memicu serapah ndeso ini misalnya dalam sekelompok pertemanan pasti tidak selalu semuanya kompak dan satu kata sehingga kelompok mayoritas selalu mengejek dengan serapah ndeso kepada satu atau dua orang yang tidak sekata untuk mempengaruhi agar mereka pun turut menyetujui kelompok mayoritas.  Ataupun ketika seorang teman yang berusaha menyemangati sahabatnya ketika nampak takut dan ragu-ragu saat ingin mendekati gebetannya “Ih...ndeso banget.....begitu aja nggak berani...!”

Sebegitu ringannya istilah ndeso itu diucapkan sehingga kini ada atau tidak ada hubungannya dengan wong ndeso segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan ataupun tidak sreg dilihat atau didengar, akan dengan mudah dilabeli dengan istilah ndeso.

Namun tidak juga sikap atau profil ndeso ini selalu jelek dan remeh, pada kenyataanya sikap dan profil ndeso telah memberikan inspirasi dan memiliki nilai jual bagi para sineas ataupun reality show dengan memberikan porsi peran tokoh ndeso ini kepada para bintang atau host. 

Seorang Dian Sastro mengawali karirnya dalam film Pasir Berbisik yang serba ndeso (profil, busana serta latar suasananya) bersama Christine Hakim dan Slamet Raharjo pada tahun 2001, dan berhasil meraih penghargaan Asia Pacific Film tahun 2001, Deauville Asian Film Festival tahun 2002 serta Singapore International Film Festival tahun 2002.

Juga karya sinetron fenomenal Si Doel Anak Sekolahan produksi Karnos Film era tahun 1994 - 2006, menampilkan alur cerita komedi, romansa serta keseharian masyarakat dengan tokoh-tokoh ndeso pinggiran Jakarta seperti Atun, Mandra, Engkong, Mas Karyo, pak Bendot serta si Doel sendiri.

Dan tentunya kita juga masih sangat mengenal mas Tukul Arwana yang menjadi host pada sebuah acara reality show (Empat Mata, Bukan Empat Mata & Ini Baru Empat Mata) yang memiliki ribuan episode itu, dimulai tahun 2006 hingga sekarang. Gaya ndeso mas Tukul Arwana lah yang menjadi daya tarik reality show ini sehingga menjadi sangat awet tayang dan memiliki banyak pengemar.
Sebagai host, mas Tukul dengan logatnya yang medok Jawa, bertanya kepada para tamu dengan candaan lucu, lugu dan sedikit gombalan receh jika tamunya cewek, serta cara ‘ekspose’ tampang ndeso mas Tukul sendiri (maaf ya mas Tukul..) melalui mimik-mimik wajah lucu dan menggelikan.

Senin, 17 Agustus 2015

KEKAYAAN RAGAM GENETIK UNGGUL KALIMANTAN SELATAN


Erwan Nurindarto - Kaya itulah kata yang patut disematkan kepada alam dan bumi Kalimantan Selatan, dan sudah sepantasnya ada rasa bangga bagi warga masyarakat yang tinggal di Kalimantan Selatan. Kenapa mesti bangga? Ya, bangga karena tidak semua tempat di nusantara ini memiliki keragaman genetik unggulan sekaya wilayah Kalimantan Selatan. Yang ada dalam tulisan kali ini masih terbatas pada keragaman genetik unggul yang berhubungan dengan komoditas pangan dan belum semuanya tereksplorasi, sementara masih banyak ragam genetik lain untuk komoditas lainnya seperti fitofarmaka, tanaman hias ataupun komoditas industri perkebunan & kehutanan.

Beberapa jenis genetik unggulan ini diantaranya memang sudah banyak dikenal secara nasional dengan menjuarai kontes/lomba di tingkat nasional ataupun telah diberikan pengakuan resmi oleh instansi nasional pemerintah. Namun ada pula beberapa diantaranya yang tidak setenar yang lain, akan tetapi tetap memiliki potensi untuk menjadi genetik unggulan baru. Untuk itu, tidak semestinya lah kita sudah merasa cukup atau berpuas diri dengan kekayaan ragam genetik yang ada sekarang ini, karena masih terbentang jalan guna menyempurnakan performa masing-masing ragam genetik tersebut agar dapat menjadi produk-produk unggulan yang menarik bagi kepentingan komersial dari berbagai segi performa nya (perbanyakan, ukuran, aroma, rasa, warna, daya tahan, produktifitas dan lain-lain).

Rekayasa genetika dalam hal ini persilangan adalah jalan yang terbentang itu guna ‘menyempurnakan’ ragam genetik ke arah yang diinginkan dan memenuhi selera komersial. Kita semua tentu mengenal jenis durian Monthong alias durian Bangkok yang terkenal gede-gede, berdaging tebal & berbiji hepe, ataupun jambu air Thong Sam Se alias Citra yang berwarna merah menyala, manis dan menggiurkan itu, konon cerita keduanya asal muasal genetisnya adalah dari Indonesia yang telah mengalami rekayasa genetis (persilangan) sedemikian rupa hingga menjadi wujud yang sekarang dan sangat diterima secara komersial. Adalah bukan hal yang tidak mungkin untuk membuat cabe Hiyung dari Tapin dengan tingkat kepedasan yang sama menjadi berwarna merah dan berukuran sebesar cabe merah, atau membuat buah Kasturi yang sudah langka itu menjadi berukuran lebih besar, berwarna menarik serta dengan sosok pohon induk yang jauh lebih kecil/pendek, ataupun membuat jeruk Siam Banjar menjadi lebih eye catching dengan warna kuning mulus dan kinclong seperti jeruk Mandarin yang ada di supermarket, ya semua itu dapat diwujudkan.

Kesabaran & ketekunan yang luar biasa serta kucuran biaya yang tidak sedikit mutlak & amat diperlukan guna menuju produk unggulan yang dapat diterima secara komersial. Sementara itu jika dihadapkan dengan pertanyaan siapa yang harus bertanggung jawab jika memang ada cita-cita tersebut? Dengan tegas jawabnya adalah pemerintah, karena hanya pemerintah lah yang memiliki sumber daya dan kewenangan guna melepas serta melegalkan varietas-varietas tanaman baru. Sementara pihak swasta atau penghobies perseorangan hanya sampai pada tataran membuat/mengkreasi varietas unggulan baru tanpa bisa melepas ataupun melegalisasi varietas baru tersebut. Berikut adalah sebagian dari ragam genetis unggulan tersebut.

Cabe Hiyung (Capsicum sp). Adalah jenis cabe rawit namun berukuran mini, meskipun mini cabe ini memiliki tingkat kepedasan berlipat bila dibandingkan dengan cabe rawit biasa. Ada yang menggambarkan tingkat kepedasannya 17 kali lipat dari cabe rawit biasa, atau bila makan 1 cabe Hiyung setara dengan makan 17 cabe rawit biasa. Cabe pedas ini berasal dari desa Hiyung Kecamatan Tapin Tengah Kalimantan Selatan, karena cabe Hiyung disebut-sebut sebagai varietas cabe paling pedas di Indonesia, maka cabe Hiyung diusulkan menjadi varietas unggul Nasional. Pada saat ini cabe Hiyung masih dalam proses pengujian oleh Departemen Pertanian RI. Ukurannya yang mini memang agak merepotkan ketika melaksanakan pemanenan harus ekstra sabar jika harus memanen dalam skala luas, tentunya akan lebih menarik dan puas apabila ukuran cabe Hiyung bisa sebesar dan semerah cabe merah besar dengan tingkat kepedasan yang sama.
Cempedak Bayan Balangan (Artocarpus lancifolius). Cempedak ini merupakan buah yang khas dari desa Galumbang, Kecamatan Paringin, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Kelebihan Cempedak Bayan dari cempedak umumnya adalah mempunyai buah dan isi buah yang lebih besar. Karakteristik Cempedak Bayan yaitu mempunyai tinggi tanaman yang mencapai 12 - 18 m dengan lingkar batang atas 102 - 114 cm dan lingkar batang bawah 135 - 145 cm. Daunnya memiliki perbedaan yang menonjol sehingga lebih mudah membedakan dari cempedak pada umumnya, yaitu ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna putih dan agak panjang sehingga mudah dilihat secara kasat mata. Daun Cempedak Bayan berbentuk membulat, ujung runcing, pinggir daun rata dan memiliki tekstur yang kasar jika diraba. Panjang daun berkisar 16-20 cm dan lebar daun 10-13 cm. Tanaman cempedak Bayan yang berasal dari biji akan mulai berbuah pada umur 5-6 tahun setelah tanam. Berat buah berkisar 2,5-4 kg, panjang buah 30-32 cm, lingkar buah 46-49 cm. Daging buah tebal, lebih besar dari cempedak biasa, panjang 5,5-6,5 cm, isi buah lingkar isi buah 7-11,5 cm, berwarna kuning-orange, rasa manis. Bisa dibayangkan bukan jika suatu saat diciptakan buah cempedak yang dapat menghasilkan bahan mandai (makanan khas Banjar) yang memiliki rasa manis dan gurih.


Durian Si Japang (Durio sp). Durian unggul ini berasal dari Awang Bangkal, Karang Intan, Banjar, Kalimantan Selatan. Bentuk buahnya bulat panjarig lonjong dan berjuring lima. Kulit buah kuning kehijauan, berduri kerucut yang tersusun jarang. Daging buah kuning gading, kering, berserat halus, dan berlemak. Istimewanya, daging buahnya tebal, antara 1,5-2,5 cm. Rasanya sangat khas, selain manis juga ada rasa gurih seperti santan. Kandungan alkoholnya cukup tinggi. Aromanya tajam dan merangsang dibandingkan jenis durian lain. Bijinya kecil, bahkan banyak di antaranya yang kempes. Bobot rata-rata buahnya antara 1,5-2,5 kg. Produktivitas 300-600 buah/ pohon/tahun. Tahan penyakit busuk akar dan hama penggerek buah. Dinamai si Japang karena konon dulu pada waktu pembangunan waduk Riam Kanan, para ekspatriat Jepang sering nongkrongin pohon durian ini di kebun untuk menikmati durian ini ketika musim buah tiba. Si Japang muncul di pentas nasional dengan merajai Kontes Durian Nasional 2009 yang digelar Kementerian Pertanian di Ragunan, Jakarta Selatan. Si japang dari Tanah Banua mengalahkan 22 durian terbaik dari Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Tak hanya si Japang ada beberapa jenis durian lokal lain yang tak akalah lezat yang ada di desa Karangintan seperti si janar, si hijau, si dodol, si penganten, dan si penyengat. Janar artinya kunyit karena daging buah kuning. Sementara dodol, daging buahnya lengket seperti dodol. Penganten beraroma lembut dan penyengat beraroma keras karena kadar alkohol tinggi.


Gitaan (Willughbeia sp). Merupakan tumbuhan rimba dan tumbuh liar, Gitaan tumbuh merambat, dengan ukuran batang sebesar lengan orang dewasa dan berwarna coklat, dan bergetah putih. Daunnya berbentuk lanceolatus, dengan ujung dan pangkal daun meruncing, berwarna hijau tua. Buahnya bulat, dengan kulit halus, berwarna hijau ketika masih muda dan berwarna hijau kekuningan hingga orange ketika sudah masak. Tanaman Gitaan masih dapat ditemukan di wilayah Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan. Buah Gitaan memang bukanlah buah kesukaan banyak orang. Buah yang memiliki rasa asam-asam manis tersebut, daging buahnya agak tipis dan agak berlendir/berair. Warna biji coklat, pipih dengan ukuran panjang 2,1-2,5 cm, lebar 1,3-1,5 cm. Namun demikian Reza Tirtawinata seorang pakar buah dari Taman Wisata Mekarsari Cileungsi Bogor menuturkan saking lezatnya buah Gitaan ia sampai menyebut gitak madu (Willughbeia sp) sebagai missing fruits of paradise. “Rasanya seperti kombinasi manggis, sirsak, dan susu bercampur di satu gelas.”

Gumbili Nagara (Ipomea sp). Gumbili atau Ubi Nagara merupakan plasma nutfah khas Kalimantan Selatan yang kaya akan karbohidrat dan merupakan salah satu alternatif bahan pangan tradisional bagi keluarga. Ubi Nagara merupakan salah komoditi tanaman pangan yang endemik di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, khususnya di Kecamatan Daha Utara dan Daha selatan. Ubi Nagara memiliki ukuran yang besar, yang besarnya bisa seperti semangka. Ubi tersebut dapat dipanen pada umur empat bulan. Karena sedikitnya kandungan air, ubi tersebut banyak disajikan dalam bentuk ubi goreng atau ubi rebus. Akhmad Rijali Saidy, pengajar Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat di Banjarbaru, memaparkan berdasarkan penelitiannya ada empat jenis gumbili nagara, yakni gumbili Kai Lama dan Kai Baru, Gumbili Habang, serta terakhir Gumbili Biru. Gumbili kai lama dan kai baru warna ubinya putih, sedangkan gumbili habang warna ubinya merah kekuning-kuningan. Adapun gumbili biru, sesuai namanya, warna ubinya biru ke ungu-unguan. Gumbili Nagara memang belum setenar Ubi Cilembu yang berasa manis legit dan sudah diekspor itu, akan tetapi tidak menutup kemungkinan gumbili Nagara dengan sedikit kreatifitas dapat diarahkan sebagai bahan pangan rendah gula pengganti nasi.

Itik Alabio (Anas domesticus). Dikenal sebagai itik petelur yang produktif. Itik Alabio adalah itik Kalimantan yang berasal dari persilangan itik Kalimantan dengan Itik Peking (itik pedaging). Nama itik alabio ini berasal dari sebuah nama daerah di Kalimantan Selatan yaitu Alabio, tepatnya berada di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Nama itik Alabio sendiri diberi nama oeleh seorang ilmuan yang bernama drh. Saleh Puspo. Ilmuan ini yang banyak melakukan penelitian tentang itik alabio ini. Usia produktif itik alabio sampai 3 tahun. Setelah berumur 6 bulan itik alabio mulai bertelur. Masa bertelur itik alabio terbagi manjadi 3 tahap, yaitu :
(1) Masa bertelur Pertama tersebut selama 9 bulan, dilanjutkan dengan masa non produktif 3 bulan.
(2) Masa bertelur Kedua tersebut selama 7 bulan, dilanjutkan dengan masa non produktif 3 bulan.
(3) Masa bertelur Pertama tersebut selama 5 bulan, dimasa ini itik alabio tidak produktif lagi.

 
Jeruk Siam Banjar (Citrus suhuensis). Jeruk siam mempunyai kesesuaian agroekologi yang cukup luas, termasuk cocok dibudidayakan di lahan rawa pasang surut. Penyebaran tanaman jeruk siam ini cukup luas sehingga untuk membedakan sering digunakan nama tempat keberadaannya, antara lain kita mengenal jeruk Pontianak (Kalimantan Barat), jeruk Mamuju (Sulawesi Barat), Jeruk Batu (Malang, Jawa Timur). Di Kalimantan Selatan sendiri dikenal Jeruk Madang (Barito Kuala, Kalimantan Selatan) dan Jeruk Mahang (Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan). Jeruk siam yang berkembang di Kalimantan Selatan telah dikukuhkan menjadi varietas unggul nasional dengan nama jeruk siam Banjar. Pasar jeruk siam dalam negeri sendiri cukup baik dan populer di petani karena produksinya paling tinggi diantara jenis jeruk lainnya, disukai konsumen, dan harga cukup baik.

Kasturi (Mangifera casturi). Merupakan salah satu jenis mangga yang habitat aslinya berada di Kalimantan Selatan. Mangga Kasturi merupakan tumbuhan yang bersifat endemik yang sangat khas di Kalimantan Selatan. Kini keberadaanya terancam punah. Dimana jumlah populasinya kian berkurang , baik dari segi jumlah individunya, populasi ataupun keanekaragaman genetisnya. Mangga kasturi sudah di klasifikasikan di dalam IUCN Red List Categories pada tanggal 30 November 1999. Sedangkan tim penilai yang berasal dari World Conservation Monitoring Center di tahun 1998 sudah memutuskan bahawasanya Mangifera Casturi ini sudah berada di dalam kategori Punah In Situ atau Extinct in the Wild = EW. Mangga ini hanya hidup dan tumbuh dengan cara alami di hutan atau daerah konservasi lainya, akan tetapi keberadaanya sudah tidak lagi ditemukan di habitat aslinya.

Langsat Tanjung (Lansium domesticum). Menurut Sodik SP, penilai kultivar BPSB-TPH, Kalimantan Selatan, BPSB dan Dinas Pertanian Kabupaten Tabalong telah menyeleksi 10 pohon terbaik di sentra langsat dengan total luas tanam 210 ha. Kesepuluh pohon itu berasal dari Desa Banyutajun, Kecamatan Tanjung. Informasi pohon terbaik berasal dari keterangan para pedagang, tengkulak, penduduk, dan petugas penyuluh . "Mereka sepakat menunjuk pohon-pohon desa itu yang terbaik." Pemiliknya Haji Bahrudin, warga Desa Banyutajun, dengan 20 pohon langsat bercitarasa istimewa. Tim BPSB lalu memilih 10 pohon terbaik. "Pengamatan selama 2 musim panen menunjukkan kualitas rasa kesepuluh pohon itu setara," tutur Sodik. Untuk menentukan Pohon Induk Tunggal (PIT) tim lalu mendata produktivitas dan mengamati kondisi tanaman. Terpilihlah pohon berumur 51 tahun-sekarang 61 tahun-dengan produksi tertinggi. Pada setiap musim panen tanaman anggota keluarga Meliaceae itu menghasilkan 150 kg buah. Produktivitas pohon lain rata-rata 120-140 kg. Bobot buah mencapai 29,3 g. Umumnya 22-28 g per buah. Kerapatan buah dalam satu dompol mencapai 28-29 buah; lainnya 18-27 buah. Dari pohon induk itulah tim memproduksi bibit langsat tanjung dengan teknik sambung pucuk. Catatan BPSB sejak 5 tahun lalu lebih dari 10.000 bibit telah menyebar hingga ke Jawa dan Sulawesi.

Pisang Talas (Musa sp). Pisang talas termasuk pisang yang harus diolah terlebih dahulu sebelum dimakan. Jadi tidak dapat dimakan langsung seperti halnya pisang ambon, pisang lauli ataupun pisang barangan atau susu. Bagi masyarakat Banjar, pisng ini dapat dikolak, digorang ataupun diolah kue-kue khas lainnya seperti roti pisang. Sebutan roti pisang ini adalah semacam bingka atau bika pada umumnya, hanya isian dan campurannya adlah pisang talah atau pisang lainnya. Pisang Talas memiliki tekstur lembut, manis sedikit sepat, beraroma wangi, berserat halus, berwarna kemerahan dan mampu bertahan lama karena kulit luarnya yang keras. Pisang talas menyukai tumbuh pada tanah gembur berpasir, dan memiliki unsur hara yang banyak. Pengembangan pisang ini telah menyebar ke provinsi di Kalimantan lainnya, tetapi masih belum mampu menandingi kualitas pisang talas hasil produksi dari Kalimantan Selatan. Selain itu, pisang ini hanya dikenal di Kalimantan Selatan saja, sehingga pisang talas kurang terkenal di lidah orang-orang yang bukan penduduk asli Kalimantan. Karena hanya dikembangkan secara tradisional oleh petani-petani di kabupaten/kota di Kalsel, maka perkembangan pisang ini berjalan lambat dan apa adanya. Padahal pisang ini termasuk pisang yang tahan terhadap serangan hama. Pengembangan dalam jumlah besar-besaran memang masih memerlukan penelitian baik bibit unggul, tekstru tanah maupun factor-faktor lainnya agar kualitas pisang talas yang dihasilkan oleh daerah lain, sama dengan yang dari asalnya di Kalsel. Di Kaltim, misalnya, perantauan orang-orang Kalsel menanam pisang ini di lahan ladang yang baru mereka buka diantaranya di Desa Bayur Samarinda Selatan dan Kecamatan Marangkayu di Kabupaten Kutai Kartanegara dengan jumlah terbatas.

 Rambutan Garuda (Nephelium lappaceum). Rambutan Garuda yang sering dijuluki "rambutan raksasa" ini berasal dari daerah Sungai Andai. Rambutan ini sudah dilepas sebagai varietas unggul. Ukurannya paling besar di antara jenis rambutan yang lainnya. Panjang buahnya mencapai 7 cm dengan diameter sekitar 3 cm. Bentuknya agak lonjong dan warnanya merah menyala. Rambut buahnya berukuran panjang, agak rapat, dan berwarna merah dengan ujung kekuningan. Daging buahnya ngelotok, berwarna putih dengan ketebalan bisa mencapai 7 milimeter (mm). Keunikannya, selain manis, rasa rambutan ini juga agak gurih dan daging buahnya paling kering dibandingkan rambutan jenis lainnya.

Beras Siam Mutiara (Oryza sativa). Dilahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan, lebih dari 70 % pertanaman padi didominasi oleh varietas lokal. Varietas varietas lokal yang masih berkembang di petani diantaranya Pandak, Siam Unus, Siam Jurut, Siam Rukut, Siam Pontianak, Siam King, Siam Saba dan Siam Mutiara. Sebagian besar varietas lokal yang berkembang dipetani memiliki sifat peka fotoperiode, sehingga sawah yang ditanami dengan varietas lokal sekali setahun, dengan cara yang disesuaikan dengan genangan yang relatif dalam. Petani menanam varietas lokal yang bersifat peka fotoperiod ini melakukan pembibitan dengan cara pindah bibit sampai tiga kali sebelum tanam di sawah, yaitu taradak, ampak dan lacak. Dengan cara pindah bibit bibit ini akan diperoleh bibit yang cukup tinggi dan kuat ditanam pada genangan air sawah di rawa yang relatif dalam, dengan kata lain keuntungan menggunakan varietas lokal petani bisa menunda tanam bila genangan air di sawah masih dalam. Salah satu varietas lokal yang cukup berkembang di lahan pasang surut adalah varietas Siam Mutiara. Varietas Siam Mutiara ini sudah dilepas oleh menteri Pertanian sebagai “ varietas unggul lokal”. Pelepasan varietas Siam Mutiara ini dalam pemuliaan di kenal dengan istilah Pemutihan varietas lokal. Varietas Siam Mutiara tersebut merupakan hasil seleksi positif dan populasi varietas padi lokal di Desa Anjir Seberang Pasar II, Kecamatan Anjir Pasar di Kabupaten Barito Kuala (Batola). Padi yang merupakan penemuan Aan A Derajat dari Balai Besar Peneliti Padi itu telah ditetapkan sebagai varietas unggul melalui keputusan Menteri Pertanian Nomor 959/Kpts/SR.120/7/2008 tanggal 17 Juli 2008. Pengusulan padi varietas tersebut dilakukan langsung oleh Pemprov Kalsel, BPSBTPH serta Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Batola.
Sebagai varietas unggul dilahan rawa pasang surut varietas Siam mutiara memiliki beberapa keunggulan baik ditinjau dari aspek budidaya maupun genetik. Keunggulan tersebut antara lain:
-Minim penggunaan pestisida
-Minim penggunaan pupuk an organik (pupuk buatan)
-Pengelolaan bahan organik-minim penyiangan
-Penggunaan benih lebih sedikit
-Toleran terhadap lingkungan (toleran keracunan besi
-Bentuk gabah dan rasa nasi di sukai, sehingga harga jual lebih tinggi.

Minggu, 07 Juni 2015

HEWAN-HEWAN LIAR YANG SERING BERSINGGUNGAN KEPENTINGAN DENGAN MANUSIA DI KALIMANTAN SELATAN


Erwan NurindartoSebagai penghuni alam semesta secara dasar alamiahnya manusia dan hewan memiliki kepentingan yang sama untuk bertahan hidup yaitu kepentingan akan pemenuhan pakan dan kepentingan akan tempat tinggal atau sarang. Manusia memang dianugerahi intelegensia melebihi dari hewan sehingga dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar akan makanan manusia dapat berkreasi dengan berbudidaya. Sementara hewan tidak memiliki kemampuan untuk berbudidaya, sehingga hewan amat membutuhkan ruang di alam dengan kondisi alamiahnya untuk pemenuhan akan makanan. Kemampuan berbudidaya manusia dengan keinginan komersial lah yang menyebabkan persinggungan kepentingan antar manusia dengan hewan, keinginan komersialisasi atas sumber daya alam atau hasil budidaya mengakibatkan kebutuhan akan ruang di alam dengan segala bentuk rekayasanya sehingga merubah kondisi alamiah. Penyempitan ruang di alam (bagi hewan) yang disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan ruang oleh manusia mengakibatkan hewan-hewan liar di alam (dengan terpaksa) sering memunculkan diri di tengah-tengah komunitas manusia, dan sesekali atau sering hewan-hewan tersebut melakukan “serangan” terhadap manusia yang mana hal tersebut adalah ekspresi alami hewan bila merasa terancam sebagai bentuk pertahanan diri. Tidak jarang manusia menanggapi serangan hewan-hewan liar tersebut sebagai sebuah gangguan yang mengancam, sehingga menusia perlu melakukan tindakan yang terkadang ekstrim hingga dalam bentuk pemusnahan. Beberapa jenis hewan berikut adalah jenis hewan liar yang sering bersinggungan dengan manusia di Kalimantan baik di lingkungan perkotaan maupun lingkungan rural (pedesaan), kehadiran hewan-hewan liar tersebut di tengah-tengah komunitas manusia dinilai mengganggu dan bahkan beberapa diantaranya memang sangat berbahaya bagi manusia. Istilah hama yang disematkan kepada hewan-hewan liar karena menurut manusia kemunculan hewan-hewan tersebut telah mengganggu kenyamanan tempat tinggal ataupun mengurangi/merusak produksi dan komoditas budidaya oleh manusia. Tepatkah istilah hama yang telah disematkan kepada hewan-hewan liar tersebut? Tepat, jika memandang kepentingan dari sudut pandang manusia, akan tetapi tahukah kita sebagai manusia istilah apa yang telah disematkan kepada kita oleh hewan-hewan liar tersebut? 

SEMUT SALIMBADA (KATIKIH)
Salimbada atau Katikih (Lasius Fuliginosus) demikian masyarakat Banjar menyebutnya, adalah jenis semut besar (seukuran semut merah rang-rang) berwarna hitam kemerahan yang bersarang atau berkoloni di dalam tanah, jenis semut ini adalah yang paling dihindari oleh masyarakat Kalimantan karena gigitannya yang terkenal amat menyakitkan. Salimbada sangat agresif menyerang apabila merasa terganggu koloninya. Namun demikian koloni semut Salimbada ini sebenarnya amat jarang menampakkan diri, koloni ini akan menampakkan diri berjalan beriringan di atas permukaan tanah dari satu sarang untuk pindah ke sarang lain di dalam tanah apabila secara insting mereka merasa sarang koloninya akan terendam akibat hujan deras yang akan segera turun. Penyebab lain yang mengakibatkan koloni Salimbada ini keluar dari sarang adalah adanya rangsangan berupa bau yang berasal dari organisme (hewan) mati terutama ikan yang berada di sekitar sarang koloni.
 

Keberadaan koloni Salimbada ini bisa ada di mana saja baik lingkungan perkotaan ataupun lingkungan pedesaan. Salimbada ini termasuk jenis hewan predator dengan mangsa hewan lain dari jenis apa saja baik serangga, cacing, ikan, katak, bahkan koloni ini sanggup menghabiskan seekor itik ataupun ayam di dalam kandang dalam satu serangan malam hari. Meskipun demikian, koloni kejam ini memiliki sisi baik yaitu, entah karena sebab apa koloni semut Salimbada ini tidak akan pernah mau naik atau lepas dari permukaan tanah (mis: merambat di dinding rumah atau pagar), dan mungkin oleh sebab itu maka ada bentuk kearifan konstruksi rumah panggung di Kalimantan dengan tujuan disamping menghindari banjir juga untuk menghindari Salimbada.   


GOBANG (SIGUNG)  
Gobang, Sigung (Mydaus javanensis). Sigung memiliki moncong panjang dan berbulu panjang dan lebat. Warna bulu sigung didominasi coklat tua atau hitam dengan belang putih. Warna putih berada di tengah bagian tubuh, yaitu dari tengah bagian atas kepala hingga ekor. Sigung mempunyai panjang tubuh mencapai 50 cm dengan berat badan berkisar antara 1,4 - 3,6 kg. Sigung merupakan binatang penyendiri yang beraktifitas di malam hari (nokturnal). Sigung mempunyai habitat di hutan-hutan sekunder hingga pada ketinggian 2000 mdpl. Sigung (Mydaus javanensis) merupakan binatang omnivora yang mempunyai makanan kesukaan antara lain serangga, cacing tanah, tikus, katak, ular, burung, dan telur. Sigung juga memakan buah-buahan, akar, jamur, dan dedaunan.
 

Yang paling khas dari sigung adalah kemampuannya mengeluarkan sejenis gas yang berbau menyengat dan busuk dari kelenjar khusus yang terdapat di sekitar anusnya. Kelenjar ini menghasilkan bau yang mengandung sulfur (belerang), methyl and butyl thiols. Bau ini berfungsi sebagai alat pertahanan diri terhadap predator. Seekor sigung yang merasa terpojok akan mengancam lawan atau predator dengan cara menundukkan kepala, menaikkan ekornya, dan akan menjejak-jejakkan cakar depannya di tanah. Jika musuh atau predator tidak segera pergi, sigung akan melengkungkan tubuhnya menyerupai huruf “U” dengan kepada dan dubur menghadap ke lawannya. Dan menyemburlah bau yang sangat busuk. Semburan sigung (Mydaus javanensis) sangat kuat hingga mampu mencapai jarak 3,6 meter yang arahnya bisa ke kanan, ke kiri, ke atas, atau lurus. Bau ini sangat kuat yang mampu menyebabkan iritas dan kebutaan. Di lingkungan pemukiman yang belum begitu padat Gobang atau Sigung masih sering menampakkan diri ataupun jika tidak nampak namun tercium bau yang dapat digambarkan sebagai bau yang teramat langu (mahung), pahit dan amat pekat menyengat. Bau ini mengakibatkan efek asmatis (sesak napas), pusing dan mual bagi manusia. Kehadiran Gobang atau Sigung di pemukiman manusia adalah karena sifatnya yang omnivora atau pemakan segala, Gobang akan datang mengais-ngais sampah atau tempat pembuangan air (comberan) untuk mencari sisa-sisa makanan ataupun cacing.



MUSANG PANDAN Musang adalah hewan menyusui (mamalia) yang termasuk suku musang dan garangan (Viverridae). Nama ilmiahnya adalah Paradoxurus hermaphroditus. Hewan ini juga dipanggil dengan berbagai sebutan lain seperti musang (nama umum, Betawi), careuh bulan (Sunda), luak atau luwak (Jawa), serta common palm civet, common musang, house musang atau toddy cat dalam bahasa Inggris.
 

Musang luwak adalah salah satu jenis mamalia liar yang kerap ditemui di sekitar pemukiman dan bahkan perkotaan. Hewan ini amat pandai memanjat dan bersifat arboreal, lebih kerap berkeliaran di atas pepohonan, meskipun tidak segan pula untuk turun ke tanah. Musang juga bersifat nokturnal, aktif di malam hari untuk mencari makanan dan aktivitas lainnya. Di alam liar, musang kerap dijumpai di atas pohon aren atau pohon kawung, rumpun bambu, dan pohon kelapa, jika di perkotaan biasanya musang bersarang di atap rumah warga, karena habitat alaminya sudah terganti oleh rumah-rumah manusia.
 

Musang ini sesekali memangsa ayam peliharaan, walaupun tampaknya lebih sering memakan aneka buah-buahan di kebun dan pekarangan. Termasuk di antaranya pepaya, pisang, dan berbagai buah pohon lainnya. Mangsa yang lain adalah aneka serangga, moluska, cacing tanah, kadal serta bermacam-macam hewan kecil lain yang bisa ditangkapnya, termasuk mamalia kecil seperti tikus. Pada siang hari musang luwak tidur di lubang-lubang kayu, atau jika di perkotaan, di ruang-ruang gelap di bawah atap. Hewan ini melahirkan 2-4 anak, yang diasuh induk betina hingga mampu mencari makanan sendiri. Sebagaimana aneka kerabatnya dari Viverridae, musang luwak (jantan) mengeluarkan semacam bau dari kelenjar di dekat anusnya. Samar-samar bau ini menyerupai harum daun pandan, namun dapat pula menjadi pekat dan memualkan. Kemungkinan bau ini digunakan untuk menandai batas-batas teritorinya, dan pada pihak lain untuk mengetahui kehadiran hewan sejenisnya di wilayah jelajahnya.  


HIRANGAN Hirangan dalam bahasa Banjar sebenarnya adalah jenis Lutung Kelabu atau dalam nama ilmiahnya Trachypithecus cristatus. Adalah sejenis monyet atau kera berukuran sedang, dengan panjang sekitar 58 cm. Lutung Kelabu memiliki rambut tubuh berwarna hitam dengan ujung warna putih atau kelabu. Mukanya berwarna hitam tanpa lingkaran putih di sekitar mata dan rambut di atas kepalanya meruncing dengan puncak ditengahnya. Seperti jenis lutung lainnya, lutung ini memiliki ekor yang panjang, berukuran sekitar 75 cm. Lutung jantan dan betina serupa. Betina biasanya berukuran lebih kecil dan ringan di banding jantan. Ketika baru lahir, bayi lutung memiliki rambut tubuh berwarna jingga. Setelah berumur tiga bulan, rambut warna jingga ini digantikan dengan rambut tubuh hitam seperti lutung dewasa.
 

Daerah sebaran Lutung Kelabu adalah hutan hujan tropis, hutan bakau, dan hutan-hutan sekitar pantai dan sungai di Indocina, Thailand, semenanjung Melayu, pulau Sumatra, pulau Kalimantan dan beberapa pulau kecil lainnya. Lutung Kelabu adalah hewan arboreal, yang hidup di atas pepohonan. Makanan pokoknya terdiri dari tumbuh-tumbuhan. Memakan dedaunan, buah-buahan serangga.
 

Lutung Kelabu hidup berkelompok. Di dalam satu kelompok terdiri dari sekitar sembilan sampai tigapuluh ekor lutung, termasuk satu lutung jantan dewasa dan lutung-lutung betina yang secara komunal membesarkan anak lutung. Lutung jantan dewasa melindungi kelompok dan wilayahnya dari lutung jantan lainnya. Lutung Kelabu memiliki daerah sebaran yang cukup luas, namun hilangnya habitat hutan dan penangkapan liar yang terus berlanjut mengancam keberadaan spesies ini. Lutung Kelabu dievaluasikan sebagai hampir terancam di dalam IUCN Red List. Di daerah Kalimantan Selatan Hirangan banyak dijumpai di sepanjang perbukitan Meratus yang berbatasan dengan desa-desa di wilayah hulu sungai. Kemunculan kelompok Hirangan ini di wilayah pedesaan adalah untuk mencari pakan yang berasal dari tanaman-tanaman hasil budidaya di kebun atau ladang masyarakat.


WARIK
Warik, Monyet atau Kera (Macaca fascicularis) adalah monyet asli Asia Tenggara namun sekarang tersebar di berbagai tempat di Asia. Nama lokalnya dalam bahasa Melayu, kra atau kera, adalah tiruan bunyi yang dikeluarkan oleh hewan ini. Dalam literatur-literatur lama, spesies ini acap disebut sebagai kera ekor panjang atau monyet ekor panjang (dari bahasa Inggris, long-tailed macaque), monyet pemakan kepiting (Ingg; crab-eating monkey), atau monyet saja.

Monyet ini sangat adaptif dan termasuk hewan liar yang mampu mengikuti perkembangan peradaban manusia. Selain menjadi hewan timangan atau pertunjukan, monyet ini juga digunakan dalam berbagai percobaan kedokteran. Di beberapa tempat, seperti halnya di Sangeh, Bali, monyet kra dianggap sebagai hewan yang dikeramatkan dan tidak boleh diganggu. Seperti halnya di Pulau Kambang Kalimantan Selatan yang terletak di muara Sungai Barito, dimana terdapat sebuah pulau atau delta sungai yang dijadikan sebagai tempat wisata dimana di dalamnya terdapat koloni warik liar yang tidak diganggu atau dikeramatkan oleh sebagian warga Tionghoa Banjarmasin.

Warik umum ditemukan di hutan-hutan pesisir (mangrove, hutan pantai), dan hutan-hutan sepanjang sungai besar; di dekat perkampungan, kebun campuran, atau perkebunan; pada beberapa tempat hingga ketinggian 1.300 m dpl. Jenis ini sering membentuk kelompok hingga 20 - 30 ekor banyaknya; dengan 2 - 4 jantan dewasa dan selebihnya betina dan anak-anak. Warik memakan aneka buah-buahan dan memangsa berbagai jenis hewan kecil seperti ketam, serangga, telur dan lain-lain. Kadang-kadang kelompok monyet ini memakan tanaman di kebun dan menjadi hama. 




BANGKUI (BERUK)
Bangkui, Beruk (bahasa Inggeris: Pig-tailed Macaque) merupakan salah satu jenis hewan yang dilindungi yang terdapat di negara-negara di Asia, termasuknya Malaysia, Indonesia, Thailand, Bangladesh, India, China, Burma, Laos, Kamboja. Nama ilmiahnya adalah Macaca nemestrina. Beruk mempunyai waktu bunting selama 5.7 bulan (170 hari). Ia mampu hidup selama 26 tahun. Beruk jantan biasanya mempunyai ketinggian 495 - 564 mm, sementara beruk betina mempunyai ketinggian antara 467 hingga 564 mm dengan panjang ekor mencapai antara 10 - 16 cm. Berat Bangkui antara 6 - 9 kg untuk jantan dan hanya 4,5-6 kg untuk betina. Bangkui merupakan binatang diurnal (aktif di siang hari) dengan memakan berbagai jenis daun, bunga, biji-bjian, dan buah-buahan. Bangkui ini hidup tinggal di atas pohon pada setinggi 24 - 36 meter secara berkelompok antara 5 - 25 individu. Jenis monyet ini bersifat poligamus.

Dengan ukuran badannya yang besar maka Bangkui cenderung cuek dan tidak takut terhadap manusia, bahkan kadang manusia yang lebih takut apabila berjumpa dengan kawanan Bangkui di ladang atau di kebun karena sering terjadi serangan kawanan Bangkui terhadap para penoreh getah karet di perkebunan yang umumnya bekerja sendirian di kebun. Jenis monyet Bangkui ini memiliki gerakan yang amat lincah untuk menghindari serangan atau pukulan tongkat dan senjata lain dari manusia, sehingga kelihaian monyet Bangkui ini diadopsi oleh manusia untuk mengembangkan seni bela diri oleh masyarakat Dayak yang diberi nama Kuntau (silat) Bangkui.

Namun demikian monyet Bangkui atau Beruk bagi sebagian masyarakat di Sumatera Barat dapat dijadikan atau dilatih sebagai pembantu manusia untuk memetik buah kelapa, umumnya Beruk yang dijadikan sebagai pemetik buah kelapa adalah Beruk betina karena beruk betina relatif lebih jinak dan mudah dilatih dibandingkan beruk jantan. 



BABI HUTAN BERJENGGOT
Babi berjenggot (Sus barbatus) atau babi janggut, adalah sejenis babi liar (babi hutan) yang menyebar di Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, dan Kepulauan Sulu. Babi palawan (S. ahaenobarbus) sebelumnya dimasukkan sebagai anak jenis babi berjenggot, tetapi kini dianggap sebagai spesies tersendiri.

Babi yang berukuran cukup besar; hewan jantan mencapai panjang tubuh 1520 mm, yang betina sedikit lebih kecil; tinggi bahunya hingga 90 cm dan beratnya mencapai 120 kg, meskipun kebanyakan antara 57-83 kg. Babi muda berwarna kehitaman; sedangkan yang dewasa lebih pucat, dari abu-abu kuning hingga putih bungalan. Kepala panjang dengan rambut keras serupa jenggot di sepanjang rahang bawah, dan dua pasang tonjolan daging serupa kutil di atas kedua sisi mulut ditumbuhi rambut-rambut panjang, kaku, keputih-putihan.

Babi berjenggot biasanya aktif di malam hari (nokturnal), namun di siang hari yang sejuk pun kadang-kadang binatang ini mau berkeliaran. Makanannya berupa buah-buahan yang jatuh dari pohon dan biji-bijian, akar-akaran, terna, serta berbagai bagian tumbuhan lainnya; hewan-hewan kecil seperti cacing tanah, serangga dan sebangsanya. Babi betina membuat sarang dari daun-daunan dan semak-semak yang dicabik-cabik dan dilonggokkan untuk tempat melahirkan anak-anaknya. Biasanya betina melahirkan 3-11 ekor setiap kali beranak. Babi hutan adalah jenis hewan liar yang cukup meresahkan bagi masyarakat yang hidup di lingkungan pedesaan (rural) di Kalimantan, kawanan binatang ini dengan nafsu makannya yang besar mampu untuk menghabiskan komoditas tanaman di ladang atau kebun berupa padi, singkong, jagung, kacang tanah dan bahkan buah sawit atau umbut tanaman muda sawit pun dapat ludes dibuatnya.



BERUANG MADU (SUN BEAR)
Beruang madu termasuk familia ursidae dan merupakan jenis paling kecil dari kedelapan jenis beruang yang ada di dunia. Panjang tubuhnya 1,40 m, tinggi punggungnya 70 cm dengan berat berkisar 50 – 65 kg. Bulu beruang madu cenderung pendek, berkilau dan pada umumnya hitam, matanya berwarna cokelat atau biru,selain itu hidungnya relatif lebar tetapi tidak terlalu moncong. Beruang madu dapat bergerak dengan kecepatan hingga 48 kilometer per jam dan memiliki tenaga yang sangat kuat. Kepala beruang madu relatif besar sehingga menyerupai anjing yakni memiliki telinga kecil dan berbentuk bundar. Beruang jenis ini memiliki lidah yang sangat panjang dan dapat dipanjangkan sesuai dengan kondisi alam untuk menyarikan madu dari sarang lebah di pepohonan.

Beruang madu memiliki penciuman yang sangat tajam dan memiliki kuku yang panjang di keempat lengannya yang digunakan untuk mempermudah mencari makanan. Beruang madu lebih sering berjalan dengan empat kaki, dan sangat jarang berjalan dengan dua kaki seperti manusia. Lengan beruang jenis ini cukup lebar dan memiliki kuku melengkung serta berlubang yang memudahkannya memanjat pohon. Kuku tangan yang melengkung digunakan oleh beruang ini untuk menggali rayap, semut dan sarang lebah dan beruang yang sedang mencari madu akan segera menghancurkan kayu yang masih hidup dan segar dan bahkan berusaha untuk menggaruk pohon yang kayunya keras.

Beruang madu hidup di hutan-hutan primer, hutan sekunder dan sering juga di lahan-lahan pertanian, mereka biasanya berada di pohon pada ketinggian 2 - 7 meter dari tanah, dan suka mematahkan cabang-cabang pohon atau membuatnya melengkung untuk membuat sarang. Penyebarannya terdapat di pulau Kalimantan, Sumatera, Indocina, Cina Selatan, Burma, serta Semenanjung Malaya. Beruang madu adalah binatang omnivora yang memakan apa saja di hutan. Mereka memakan aneka buah-buahan dan tanaman hutan hujan tropis, termasuk juga tunas tanaman jenis palem. Mereka juga memakan serangga, madu, burung, dan binatang kecil lainnya. Apabila beruang madu memakan buah, biji ditelan utuh, sehingga tidak rusak, setelah buang air besar, biji yang ada di dalam kotoran mulai tumbuh sehingga beruang madu mempunyai peran yang sangat penting sebagai penyebar tumbuhan buah berbiji besar seperti cempedak, durian, lahung, kerantungan dan banyak jenis lain. Pada wilayah yang telah diganggu oleh manusia, mereka akan merusak lahan pertanian, menghancurkan pisang, pepaya atau tanaman kebun lainnya.

Beberapa kasus kemunculan dan serangan beruang madu terhadap manusia di sekitar wilayah perkebunan/ladang masyarakat di Kalimantan Selatan biasanya terjadi pada saat musim paceklik atau kemarau yang mana sumber pakan beruang madu di hutan sekitar perbukitan Meratus seperti tanaman, buah-buahan serta berbagai jenis hewan atau serangga juga sulit dicari pada saat musim paceklik tersebut. Sehingga mau tak mau beruang madu turun hingga wilayah perkebunan penduduk untuk mencari makan.