Rabu, 08 Juli 2020

Sejatinya Ndeso Itu Menghibur

Ndeso berasal dari kata deso atau kampung, ‘n’ dalam dialek Jawa lazim ditambahkan sebagai awalan kata deso sehingga merubah arti kata deso itu sendiri menjadi sebuah pertegasan gambaran profil orang desa kluthuk (totok) dengan tampilan busana seadanya, tanpa riasan, serta sikap yang lugu dan serba pakewuh (sungkan) & canggung.  

Itu adalah gambaran profil orang ndeso jaman dulu pada kurun waktu hampir 5 dasawarsa silam. Kala itu orang-orang ndeso dari kawasan-kawasan penghasil sayur mayur seperti kol, kentang, wortel dan tembakau yang umumnya berada di lereng-lereng gunung Sindoro, Merapi atau Merbabu turun ke kota untuk menjual hasil kebun mereka.

Profil orang ndeso itu dapat dikenali dengan ciri busana (catatan: semuanya lusuh); si bapak busananya kain sarung yang dikalungkan di leher, memakai caping, peci atau ikat kepala batik, bajunya kaos oblong dengan sorjan, celana jawa warna hitam biasanya, tanpa alas kaki serta merokok tembakau lintingan klembak menyan. Si ibu yang dipanggil simbok menggunakan jarik atau kain batik, kemben (penutup dada), berkebaya lurik, rambut disanggul sederhana dan biasanya menyusur tembakau (menginang).

Dan si anak yang kadang diajak serta turun ke kota umumnya maaf dekil dan nampak tidak sehat (kurus, perut buncit, rambut kemerahan serta beringus), busananya pun seadanya, lebih sering mengenakan pakaian seragam sekolah seperti baju pramuka atau seragam SD Inpres (merah putih) dan mungkin itu busana terbaik yang mereka miliki. Mereka berkomunikasi dengan bahasa yang amat sopan dalam kromo inggil (Jawa halus) saat melayani pembeli dagangan mereka.

Gambaran profil orang ndeso itu tentunya sudah teramat jauh dengan orang desa masa kini yang profilnya tak jauh-jauh amat dengan orang kota, soal mode busana; selalu up date, soal pendidikan; banyak orang desa kini yang menyandang gelar sarjana bahkan lulusan luar negeri, dan umumnya orang desa kini yang sudah tidak asing dengan teknologi internet & gadget.

Makna ujaran ndeso atau ndesit (ndeso pakai banget) awalnya adalah sekedar ujaran pendek untuk menggambarkan sikap lugu dan canggung orang ndeso itu sendiri pada saat beraktifitas di kota, seperti ragu-ragu dan maju mundur saat akan menyeberangi jalan raya, ragu dan takut-takut di depan toko baju atau sepatu saat akan membeli ataupun nampak kuatir berlebih dengan terlalu banyak bertanya kepada sopir angkot yang ditumpangi mengenai arah atau tempat yang dituju. Namun seiring dengan perjalanan waktu, telah terjadi pergeseran makna ujaran ndeso ini menjadi semacam ‘serapah’ yang dianggap ringan sehingga sering tanpa sadar terucapkan oleh seseorang .

Kejadian yang dapat memicu serapah ndeso ini misalnya dalam sekelompok pertemanan pasti tidak selalu semuanya kompak dan satu kata sehingga kelompok mayoritas selalu mengejek dengan serapah ndeso kepada satu atau dua orang yang tidak sekata untuk mempengaruhi agar mereka pun turut menyetujui kelompok mayoritas.  Ataupun ketika seorang teman yang berusaha menyemangati sahabatnya ketika nampak takut dan ragu-ragu saat ingin mendekati gebetannya “Ih...ndeso banget.....begitu aja nggak berani...!”

Sebegitu ringannya istilah ndeso itu diucapkan sehingga kini ada atau tidak ada hubungannya dengan wong ndeso segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan ataupun tidak sreg dilihat atau didengar, akan dengan mudah dilabeli dengan istilah ndeso.

Namun tidak juga sikap atau profil ndeso ini selalu jelek dan remeh, pada kenyataanya sikap dan profil ndeso telah memberikan inspirasi dan memiliki nilai jual bagi para sineas ataupun reality show dengan memberikan porsi peran tokoh ndeso ini kepada para bintang atau host. 

Seorang Dian Sastro mengawali karirnya dalam film Pasir Berbisik yang serba ndeso (profil, busana serta latar suasananya) bersama Christine Hakim dan Slamet Raharjo pada tahun 2001, dan berhasil meraih penghargaan Asia Pacific Film tahun 2001, Deauville Asian Film Festival tahun 2002 serta Singapore International Film Festival tahun 2002.

Juga karya sinetron fenomenal Si Doel Anak Sekolahan produksi Karnos Film era tahun 1994 - 2006, menampilkan alur cerita komedi, romansa serta keseharian masyarakat dengan tokoh-tokoh ndeso pinggiran Jakarta seperti Atun, Mandra, Engkong, Mas Karyo, pak Bendot serta si Doel sendiri.

Dan tentunya kita juga masih sangat mengenal mas Tukul Arwana yang menjadi host pada sebuah acara reality show (Empat Mata, Bukan Empat Mata & Ini Baru Empat Mata) yang memiliki ribuan episode itu, dimulai tahun 2006 hingga sekarang. Gaya ndeso mas Tukul Arwana lah yang menjadi daya tarik reality show ini sehingga menjadi sangat awet tayang dan memiliki banyak pengemar.
Sebagai host, mas Tukul dengan logatnya yang medok Jawa, bertanya kepada para tamu dengan candaan lucu, lugu dan sedikit gombalan receh jika tamunya cewek, serta cara ‘ekspose’ tampang ndeso mas Tukul sendiri (maaf ya mas Tukul..) melalui mimik-mimik wajah lucu dan menggelikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar