Ndeso
berasal dari kata deso atau kampung, ‘n’ dalam dialek Jawa lazim ditambahkan
sebagai awalan kata deso sehingga merubah arti kata deso itu sendiri menjadi
sebuah pertegasan gambaran profil orang desa kluthuk (totok) dengan tampilan busana
seadanya, tanpa riasan, serta sikap yang lugu dan serba pakewuh (sungkan) &
canggung.
Itu
adalah gambaran profil orang ndeso jaman dulu pada kurun waktu hampir 5
dasawarsa silam. Kala itu orang-orang ndeso dari kawasan-kawasan penghasil
sayur mayur seperti kol, kentang, wortel dan tembakau yang umumnya berada di
lereng-lereng gunung Sindoro, Merapi atau Merbabu turun ke kota untuk menjual
hasil kebun mereka.
Profil
orang ndeso itu dapat dikenali dengan ciri busana (catatan: semuanya lusuh); si
bapak busananya kain sarung yang dikalungkan di leher, memakai caping, peci
atau ikat kepala batik, bajunya kaos oblong dengan sorjan, celana jawa warna
hitam biasanya, tanpa alas kaki serta merokok tembakau lintingan klembak
menyan. Si ibu yang dipanggil simbok menggunakan jarik atau kain batik, kemben
(penutup dada), berkebaya lurik, rambut disanggul sederhana dan biasanya
menyusur tembakau (menginang).
Dan
si anak yang kadang diajak serta turun ke kota umumnya maaf dekil dan nampak
tidak sehat (kurus, perut buncit, rambut kemerahan serta beringus), busananya
pun seadanya, lebih sering mengenakan pakaian seragam sekolah seperti baju
pramuka atau seragam SD Inpres (merah putih) dan mungkin itu busana terbaik
yang mereka miliki. Mereka berkomunikasi dengan bahasa yang amat sopan dalam
kromo inggil (Jawa halus) saat melayani pembeli dagangan mereka.
Gambaran
profil orang ndeso itu tentunya sudah teramat jauh dengan orang desa masa kini
yang profilnya tak jauh-jauh amat dengan orang kota, soal mode busana; selalu
up date, soal pendidikan; banyak orang desa kini yang menyandang gelar sarjana
bahkan lulusan luar negeri, dan umumnya orang desa kini yang sudah tidak asing
dengan teknologi internet & gadget.
Makna
ujaran ndeso atau ndesit (ndeso pakai banget) awalnya adalah sekedar ujaran
pendek untuk menggambarkan sikap lugu dan canggung orang ndeso itu sendiri pada
saat beraktifitas di kota, seperti ragu-ragu dan maju mundur saat akan
menyeberangi jalan raya, ragu dan takut-takut di depan toko baju atau sepatu
saat akan membeli ataupun nampak kuatir berlebih dengan terlalu banyak bertanya
kepada sopir angkot yang ditumpangi mengenai arah atau tempat yang dituju. Namun
seiring dengan perjalanan waktu, telah terjadi pergeseran makna ujaran ndeso
ini menjadi semacam ‘serapah’ yang dianggap ringan sehingga sering tanpa sadar
terucapkan oleh seseorang .
Kejadian
yang dapat memicu serapah ndeso ini misalnya dalam sekelompok pertemanan pasti
tidak selalu semuanya kompak dan satu kata sehingga kelompok mayoritas selalu
mengejek dengan serapah ndeso kepada satu atau dua orang yang tidak sekata
untuk mempengaruhi agar mereka pun turut menyetujui kelompok mayoritas. Ataupun ketika seorang teman yang berusaha
menyemangati sahabatnya ketika nampak takut dan ragu-ragu saat ingin mendekati
gebetannya “Ih...ndeso banget.....begitu aja nggak berani...!”
Sebegitu
ringannya istilah ndeso itu diucapkan sehingga kini ada atau tidak ada
hubungannya dengan wong ndeso segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan
ataupun tidak sreg dilihat atau didengar, akan dengan mudah dilabeli dengan istilah
ndeso.
Namun
tidak juga sikap atau profil ndeso ini selalu jelek dan remeh, pada kenyataanya
sikap dan profil ndeso telah memberikan inspirasi dan memiliki nilai jual bagi
para sineas ataupun reality show dengan memberikan porsi peran tokoh ndeso ini
kepada para bintang atau host.
Seorang
Dian Sastro mengawali karirnya dalam film Pasir Berbisik yang serba ndeso
(profil, busana serta latar suasananya) bersama Christine Hakim dan Slamet
Raharjo pada tahun 2001, dan berhasil meraih penghargaan Asia Pacific Film
tahun 2001, Deauville Asian Film Festival tahun 2002 serta Singapore
International Film Festival tahun 2002.
Juga
karya sinetron fenomenal Si Doel Anak Sekolahan produksi Karnos Film era tahun
1994 - 2006, menampilkan alur cerita komedi, romansa serta keseharian
masyarakat dengan tokoh-tokoh ndeso pinggiran Jakarta seperti Atun, Mandra,
Engkong, Mas Karyo, pak Bendot serta si Doel sendiri.
Dan
tentunya kita juga masih sangat mengenal mas Tukul Arwana yang menjadi host
pada sebuah acara reality show (Empat Mata, Bukan Empat Mata & Ini Baru
Empat Mata) yang memiliki ribuan episode itu, dimulai tahun 2006 hingga
sekarang. Gaya ndeso mas Tukul Arwana lah yang menjadi daya tarik reality show
ini sehingga menjadi sangat awet tayang dan memiliki banyak pengemar.
Sebagai
host, mas Tukul dengan logatnya yang medok Jawa, bertanya kepada para tamu
dengan candaan lucu, lugu dan sedikit gombalan receh jika tamunya cewek, serta cara
‘ekspose’ tampang ndeso mas Tukul sendiri (maaf ya mas Tukul..) melalui mimik-mimik
wajah lucu dan menggelikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar