Rabu, 08 Juli 2020

Mengajar Di Tempat Kami


...abot sanggane..tugase bapak guru...
(berat beban tugasnya bapak guru)

saben dinane mbimbing putra putrine...
(setiap hari membimbing putra putrinya)

...pancen pak guru...kudu sabar atine...
(memang pak guru mesti sabar hatinya)

Bungah lan susah wis dadi tanggungane...
(senang dan susah sudah menjadi tanggungannya)

Koes Plus, 1974

Penggalan lirik lagu Pak Guru milik Koes Plus itu menginspirasi saya untuk menuliskan sedikit kisah dari sekian banyak pengalaman mengajar adik perempuan saya yang menjadi guru SMP sejak tahun 2010 di sebuah pedesaan Kalimantan Selatan. Pengalaman keseharian sebagai seorang guru itu sering dituturkan secara lisan oleh adik saya ketika kami kumpul-kumpul bareng dengan keluarga, berikut kisahnya.

Sekolahan kami adalah sekolah menengah pertama negeri di daerah pedesaan yang tidak terlalu terpencil sebenarnya namun cukup jauh dari keramaian kota, berada pada bagian hulu sebuah sungai besar. Sebagian besar daerah ini merupakan kawasan perbukitan yang lahannya dimanfaatkan oleh penduduk sebagai perkebunan karet, sawit atau buah-buahan seperti durian, langsat, cempedak, petai dan lain-lain. Bila sedang jatuh musim buah, di daerah ini sangatlah melimpah akan berbagai jenis buah-buahan tersebut.

Daerah ini juga sejak jaman kolonial Belanda sudah dikenal kaya akan deposit mineral batubara, oleh sebab itu banyak pula perusahaan tambang yang beroperasi di sini. Meskipun demikian penduduknya masih relatif jarang, jarak antar pemukiman desa atau dusun berjauhan hingga untuk menuju dari satu desa ke desa lain harus melalui perkebunan luas atau hamparan hutan belukar yang lumayan sunyi. Cukup beruntung bagi kami karena di daerah ini tidak terdapat satwa liar hutan seperti gajah atau harimau.

Berjarak kurang lebih 2 jam perjalanan dari ibu kota kabupaten dengan mengendarai sepeda motor. Perjalanan menuju sekolahan kami dimulai melewati ruas jalan raya propinsi yang beraspal hotmik sejauh setengah jam perjalanan, sisa perjalanan berbelok meninggalkan aspal jalan raya propinsi dan mulai memasuki jalan pedesaan masih beraspal cukup baik, namun di beberapa tempat masih diselingi dengan jalan tanah berbatu-batu, jembatan rusak dan  menyeberangi sungai.

Becek, licin dan banjir ketika hujan atau debu tebal jalan tambang batubara adalah keseharian yang harus dilewati jika menuju ke sekolah kami. Ban kempis karena bocor ataupun sepeda motor mogok adalah hal yang paling dikuatirkan dalam perjalanan bila sedang menunaikan tugas mengajar di sekolah kami.

Berjumlah total 80 siswa dari kelas VII hingga kelas IX, pada tiap tahun ajaran baru sekolah kami dapat menerima maksimal 20 - 30 siswa. Siswa siswi sekolah kami semua adalah anak-anak masyarakat sekitar, rata-rata orang tua mereka adalah pedagang, petani peladang atau pun berkebun karet, ada satu dua orang yang tuanya adalah pegawai di kantor desa ataupun tokoh-tokoh dalam struktur adat masyarakat setempat. Usia siswa siswi sekolah kami adalah sama dengan usia siswa sekolah menengah pertama pada umumnya, kalaupun ada yang usianya lebih tua dari usia siswa sekolah menengah pertama itu hanya satu atau dua orang saja.

Tatanan sosial masyarakat lingkungan desa di tempat kami mengajar menunjukkan bahwa antar warga masih memiliki ikatan kuat dalam keluarga/kelompok, serta masih banyak merujuk kepada aturan-aturan ataupun norma-norma keyakinan & adat yang telah mereka ikuti secara turun temurun, sehingga terkadang terdapat sikap-sikap resisten dari para siswa & masyarakat desa terhadap hal baru yang tidak biasa mereka lakukan ataupun hal-hal yang tidak sejalan dengan pemikiran/persepsi mereka.

Dengan demikian para pengajar di sekolah kami bukan saja bertanggung jawab secara akademis terhadap para siswa, namun ada semacam tugas tambahan yang tak tertulis seperti harus memperkenalkan sikap yang baik, memberi contoh berkomitmen & kedisiplinan, serta mengajarkan sikap terbuka & bertoleransi kepada para siswa.

Para pengajar sebagai orang yang dapat dikatakan pendatang tentu saja tidak serta merta langsung dapat diterima secara lahir batin oleh para siswa dan orang tua siswa, sehingga perlu melakukan pendekatan-pendekatan kepada para siswa untuk meraih simpati dan respek agar dapat diterima sebagai bagian dari kelompok siswa dan masyarakat setempat.    

Seperti pada umumnya, siswa sekolah menengah pertama secara petumbuhan sedang berada pada usia pubertas yang sedang berada pada masa-masa labil baik secara nalar & pemikiran, psikologis (emosional) dan secara biologis. Faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi dalam pembentukan sikap dan karakter para siswa kami seperti; lingkungan perkebunan & hutan, tuntutan & pekerjaan fisik untuk membantu orang tua, serta pola berkomunikasi dan pergaulan dalam kelompok/keluarga.

Tidak jarang para pengajar harus menghadapi siswa yang bertindak ‘intimidatif’  di dalam kelas terhadap pengajar dengan sedikit pembangkangan, berbicara dengan intonasi keras ataupun gurauan yang tidak semestinya terhadap orang yang lebih tua dimana hal ini mungkin dianggap biasa dalam pergaulan kelompok/keluarga, ataupun sikap pamer ‘sok jagoan’ ketika sedang beraktifitas saat ada pengajar di sekitarnya. 

Minimnya cita-cita untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya karena menganggap berkebun/berladang ataupun berdagang sudah cukup untuk dapat menghasilkan uang, kegiatan bersekolah bagi masyarakat di sekitar sekolah kami dapat dikatakan belum menjadi sebuah kesadaran penuh atau menjadi sebuah kebutuhan/keharusan, dengan kata lain terkadang kegiatan bersekolah masih dikalahkan dengan urusan lain misalnya membantu mengetam padi saat panen di ladang, ataupun kegiatan kegamaan/adat istiadat warga setempat.  Sehingga kejadian tidak masuk sekolah atau ijin massal, terlambat masuk sekolah, tidak masuk tanpa ijin/alasan saat ujian semester hingga putus sekolah karena pernikahan dini masih terjadi.

Namun demikian ada sisi baik dari siswa siswi di sekolah kami, karena mereka umumnya sering beraktivitas di luar rumah seperti membantu orang tua di kebun atau di ladang maka rata-rata siswa siswi kami disamping memiliki fisik yang kuat, mereka amat suka dengan kegiatan di luar ruang kelas seperti kegiatan olah raga ataupun kegiatan gotong royong bersih-bersih lingkungan sekolah. Dan kami para pengajar pun ‘tidak terlalu segan’ meminta siswa siswi kami untuk melakukan aktivitas pekerjaan fisik luar ruangan seperti membersihkan halaman sekolah, menebas semak/rumput, mengecat ruangan ataupun hal lainnya.

Menghadapi kondisi yang seperti ini kami para pengajar sudah memiliki kesadaran bahwa bersikap tegas tanpa kompromi adalah bukan tindakan yang bijaksana, kondisi ini mengharuskan kami  memiliki kelenturan bersikap dan bertindak serta beradaptasi dengan sedapat mungkin berupaya tetap menjalankan dan menanamkan ketertiban secara akademis maupun administratif kepada para siswa siswi kami.

Terlalu berperasaan atau sensitif tentunya juga akan membuat tidak nyaman bila berhadapan dengan siswa siswi di sekolah kami. Belum dimilikinya kesadaran sepenuhnya tentang bersekolah atau minimnya cita-cita untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya maka kami para pengajar tidak berekspektasi secara berlebihan dalam hal akademis terhadap para siswa siswi kami, siswa rajin hadir bersekolah tiap hari hingga selesai menghadapi ujian akhir kelulusan sudah cukup menggembirakan bagi kami.   

2 komentar: