...abot sanggane..tugase bapak
guru...
(berat beban tugasnya bapak guru)
saben dinane mbimbing putra
putrine...
(setiap hari membimbing putra
putrinya)
...pancen pak guru...kudu sabar
atine...
(memang pak guru mesti sabar hatinya)
Bungah lan susah wis dadi
tanggungane...
(senang dan susah sudah menjadi
tanggungannya)
Koes Plus, 1974
Penggalan lirik lagu Pak Guru milik Koes
Plus itu menginspirasi saya untuk menuliskan sedikit kisah dari sekian banyak pengalaman
mengajar adik perempuan saya yang menjadi guru SMP sejak tahun 2010 di sebuah
pedesaan Kalimantan Selatan. Pengalaman keseharian sebagai seorang guru itu sering
dituturkan secara lisan oleh adik saya ketika kami kumpul-kumpul bareng dengan
keluarga, berikut kisahnya.
Sekolahan kami adalah sekolah
menengah pertama negeri di daerah pedesaan yang tidak terlalu terpencil sebenarnya
namun cukup jauh dari keramaian kota, berada pada bagian hulu sebuah sungai
besar. Sebagian besar daerah ini merupakan kawasan perbukitan yang lahannya dimanfaatkan
oleh penduduk sebagai perkebunan karet, sawit atau buah-buahan seperti durian,
langsat, cempedak, petai dan lain-lain. Bila sedang jatuh musim buah, di daerah
ini sangatlah melimpah akan berbagai jenis buah-buahan tersebut.
Daerah ini juga sejak jaman kolonial
Belanda sudah dikenal kaya akan deposit mineral batubara, oleh sebab itu banyak
pula perusahaan tambang yang beroperasi di sini. Meskipun demikian penduduknya
masih relatif jarang, jarak antar pemukiman desa atau dusun berjauhan hingga
untuk menuju dari satu desa ke desa lain harus melalui perkebunan luas atau
hamparan hutan belukar yang lumayan sunyi. Cukup beruntung bagi kami karena di
daerah ini tidak terdapat satwa liar hutan seperti gajah atau harimau.
Berjarak kurang lebih 2 jam
perjalanan dari ibu kota kabupaten dengan mengendarai sepeda motor. Perjalanan
menuju sekolahan kami dimulai melewati ruas jalan raya propinsi yang beraspal
hotmik sejauh setengah jam perjalanan, sisa perjalanan berbelok meninggalkan
aspal jalan raya propinsi dan mulai memasuki jalan pedesaan masih beraspal
cukup baik, namun di beberapa tempat masih diselingi dengan jalan tanah berbatu-batu,
jembatan rusak dan menyeberangi sungai.
Becek, licin dan banjir ketika hujan
atau debu tebal jalan tambang batubara adalah keseharian yang harus dilewati
jika menuju ke sekolah kami. Ban kempis karena bocor ataupun sepeda motor mogok
adalah hal yang paling dikuatirkan dalam perjalanan bila sedang menunaikan
tugas mengajar di sekolah kami.
Berjumlah total 80 siswa dari kelas
VII hingga kelas IX, pada tiap tahun ajaran baru sekolah kami dapat menerima
maksimal 20 - 30 siswa. Siswa siswi sekolah kami semua adalah anak-anak
masyarakat sekitar, rata-rata orang tua mereka adalah pedagang, petani peladang
atau pun berkebun karet, ada satu dua orang yang tuanya adalah pegawai di
kantor desa ataupun tokoh-tokoh dalam struktur adat masyarakat setempat. Usia
siswa siswi sekolah kami adalah sama dengan usia siswa sekolah menengah pertama
pada umumnya, kalaupun ada yang usianya lebih tua dari usia siswa sekolah
menengah pertama itu hanya satu atau dua orang saja.
Tatanan sosial masyarakat lingkungan
desa di tempat kami mengajar menunjukkan bahwa antar warga masih memiliki ikatan
kuat dalam keluarga/kelompok, serta masih banyak merujuk kepada aturan-aturan
ataupun norma-norma keyakinan & adat yang telah mereka ikuti secara turun temurun,
sehingga terkadang terdapat sikap-sikap resisten dari para siswa & masyarakat
desa terhadap hal baru yang tidak biasa mereka lakukan ataupun hal-hal yang
tidak sejalan dengan pemikiran/persepsi mereka.
Dengan demikian para pengajar di
sekolah kami bukan saja bertanggung jawab secara akademis terhadap para siswa,
namun ada semacam tugas tambahan yang tak tertulis seperti harus memperkenalkan
sikap yang baik, memberi contoh berkomitmen & kedisiplinan, serta mengajarkan
sikap terbuka & bertoleransi kepada para siswa.
Para pengajar sebagai orang yang
dapat dikatakan pendatang tentu saja tidak serta merta langsung dapat diterima
secara lahir batin oleh para siswa dan orang tua siswa, sehingga perlu melakukan
pendekatan-pendekatan kepada para siswa untuk meraih simpati dan respek agar dapat
diterima sebagai bagian dari kelompok siswa dan masyarakat setempat.
Seperti pada umumnya, siswa sekolah
menengah pertama secara petumbuhan sedang berada pada usia pubertas yang sedang
berada pada masa-masa labil baik secara nalar & pemikiran, psikologis
(emosional) dan secara biologis. Faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi
dalam pembentukan sikap dan karakter para siswa kami seperti; lingkungan
perkebunan & hutan, tuntutan & pekerjaan fisik untuk membantu orang
tua, serta pola berkomunikasi dan pergaulan dalam kelompok/keluarga.
Tidak jarang para pengajar harus
menghadapi siswa yang bertindak ‘intimidatif’
di dalam kelas terhadap pengajar dengan sedikit pembangkangan, berbicara
dengan intonasi keras ataupun gurauan yang tidak semestinya terhadap orang yang
lebih tua dimana hal ini mungkin dianggap biasa dalam pergaulan
kelompok/keluarga, ataupun sikap pamer ‘sok jagoan’ ketika sedang beraktifitas
saat ada pengajar di sekitarnya.
Minimnya cita-cita untuk menuntut
ilmu setinggi-tingginya karena menganggap berkebun/berladang ataupun berdagang
sudah cukup untuk dapat menghasilkan uang, kegiatan bersekolah bagi masyarakat
di sekitar sekolah kami dapat dikatakan belum menjadi sebuah kesadaran penuh
atau menjadi sebuah kebutuhan/keharusan, dengan kata lain terkadang kegiatan bersekolah
masih dikalahkan dengan urusan lain misalnya membantu mengetam padi saat panen
di ladang, ataupun kegiatan kegamaan/adat istiadat warga setempat. Sehingga kejadian tidak masuk sekolah atau
ijin massal, terlambat masuk sekolah, tidak masuk tanpa ijin/alasan saat ujian
semester hingga putus sekolah karena pernikahan dini masih terjadi.
Namun demikian ada sisi baik dari
siswa siswi di sekolah kami, karena mereka umumnya sering beraktivitas di luar
rumah seperti membantu orang tua di kebun atau di ladang maka rata-rata siswa
siswi kami disamping memiliki fisik yang kuat, mereka amat suka dengan kegiatan
di luar ruang kelas seperti kegiatan olah raga ataupun kegiatan gotong royong
bersih-bersih lingkungan sekolah. Dan kami para pengajar pun ‘tidak terlalu
segan’ meminta siswa siswi kami untuk melakukan aktivitas pekerjaan fisik luar
ruangan seperti membersihkan halaman sekolah, menebas semak/rumput, mengecat
ruangan ataupun hal lainnya.
Menghadapi kondisi yang seperti ini
kami para pengajar sudah memiliki kesadaran bahwa bersikap tegas tanpa kompromi
adalah bukan tindakan yang bijaksana, kondisi ini mengharuskan kami memiliki kelenturan bersikap dan bertindak
serta beradaptasi dengan sedapat mungkin berupaya tetap menjalankan dan
menanamkan ketertiban secara akademis maupun administratif kepada para siswa
siswi kami.
Terlalu berperasaan atau sensitif tentunya
juga akan membuat tidak nyaman bila berhadapan dengan siswa siswi di sekolah
kami. Belum dimilikinya kesadaran sepenuhnya tentang bersekolah atau minimnya
cita-cita untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya maka kami para pengajar tidak
berekspektasi secara berlebihan dalam hal akademis terhadap para siswa siswi
kami, siswa rajin hadir bersekolah tiap hari hingga selesai menghadapi ujian
akhir kelulusan sudah cukup menggembirakan bagi kami.