Erwan Nurindarto.
“Tulisan ini merupakan terjemahan sub bab dari jurnal M. Idwar Saleh (1975)
yang berjudul Agrarian Radicalism and Movements of Native Insurrection in South
Kalimantan (1858-1865). Sejatinya tidak ada yang sempurna di muka bumi ini, dan
sudah selayaknya menempatkan masa lalu sebagai sebuah pelajaran guna melakukan koreksi
serta introspeksi untuk melangkah ke depan yang lebih baik dan bijak”
Sejarah dari wilayah ini diawali dari adanya koloni kecil bangsa Melayu dari kerajaan Sriwijaya yang bermukim di daerah Tanjung Tabalong. Sisi bagian Barat dari pegunungan Meratus banyak dihuni oleh suku Maanyan dan Orang Bukit. Peleburan antara dua elemen etnis antara Melayu dan Dayak secara fisik dan budaya menghasilkan suku Banjar Hulu Sungai sebagai keturunan pertama suku Banjar. Percampuran antara dua suku tersebut berhasil membangun sebuah kerajaan yang bernama “Nansarunai” sebagai pusat budaya, namun kerajaan ini akhirnya hilang akibat invasi kerajaan Jawa seperti sebagaimana dituturkan dalam syair ‘wadian’ atau cerita turun temurun (oral history) suku Maanjan. Akan tetapi bila ditarik kebelakang dari ‘Hikayat Raja-Raja Banjar dan Kotawaringin’ sejarah kebudayaan tersebut terjadi jauh sebelum eksistensi kerajaan Kuripan atau Tanjungpuri di hulu sungai Amuntai region Tanjung.
Sentuhan dan percampuran elemen budaya Jawa ada pada masa kerajaan Negara Dipa di sekitar Amuntai, dikenali dengan budaya kraton yang didirikan oleh orang Keling (atau Jawa bagian Timur). Ketika Maharaja Sari Kaburangan mendirikan kraton Nagara Daha, menjadi awal berkembangnya kembali kebudayaan Jawa yang mana kraton ini menjadi pusat penyebaran agama Siwaistik (Hindu) dan ilmu-ilmu kebatinan. Maharaja Sari Kaburangan mendirikan Candi Laras, yang sisa reruntuhannya masih dapat ditemukan di distrik Margasari. Namun kemungkinan puncak percampuran elemen budaya Jawa terjadi pada abad 17, yang mana ketika itu banyak terjadi pengungsian orang Jawa bagian Utara yang terusir oleh pendudukan kerajaan Mataram, dan mereka banyak bermukim di Banjarmasin.
Kraton ketiga didirikan oleh Pangeran Samudera di distrik Kuwin di tepian sungai Barito, sekitar pertengahan abad 16. Dengan didirikannya kraton Kuwin, Pangeran Samudera memindahkan kraton Nagara Daha ke Kuwin sebagai pusat kerajaan yang baru, serta menobatkan dirinya sebagai raja pertama di Banjarmasin. Di kraton Kuwin ini pula terjadi percampuran lagi elemen budaya lain yaitu budaya Dayak Ngaju. Etnis grrup ini ada setelah eksistensi suku Banjar Hulu dari Utara, dan mereka banyak mendiami di tepian sungai Barito bagian muara yang yang tidak terlalu jauh dari distrik Kuwin itu sendiri.
Di wilayah ini terbentuk budaya sungai yang mana masyarakatnya membangun pemukiman sepanjang tepian sungai Barito ataupun anak sungai Barito seperti sungai Nagara dan sungai Martapura. Di daerah dataran rendah ini suku Banjar tinggal selalu berdekatan dengan air atau bahkan di atas air, dengan membangun rumah-rumah adat panggung, rumah terapung ataupun bahkan tinggal di atas perahu. Di sungai-sungai tersebut berbagai terbentuk berbagai aktivitas seperti aktivitas perdagangan, transportasi produk-produk hutan, aktivitas perikanan, pembajakan sungai, penyebaran agama (kepercayaan), penaklukan wilayah-wilayah di pedalaman dan pengiriman upeti-upeti ke kraton. Bentuk lansekap sungai monoton yang mana banyak terdapat rawa-rawa dan areal berlumpur, banyak buaya serta tertutup oleh rimba belantara yang sulit ditembus.
Pada masa itu seseorang akan dirinya merasa dirinya kurang dihargai, merasa kecil dan sia-sia yang menghantui bila tidak ‘berilmu’. Oleh sebab itu maka ilmu-ilmu magis menjadi salah satu alat utama untuk menaklukkan perasaan-perasaan tersebut, disamping kepandaian lain seperti membuat berbagai peralatan dan senjata untuk menopang kehidupan sehari-hari. Kebudayaan Banjar kuno sebelum Islam memiliki ikatan kosmik yang kuat dengan hal-hal magis dan supranatural, hal ini nampak pada ritual-ritual dan pemujaan yang dilakukan baik di kraton ataupun di pedesaan-pedesaan. Pada umumnya masyarakat Banjar mempercayai akan sosok leluhur raja Nagara Dipa; Puteri Junjung Buih dan suaminya Pangeran Suria Nata. Dan para keturunan kerajaan akan selalu meminta bantuan kepada leluhur mereka apabila dalam keadaan yang terdesak. Terdapat pula banyak kepercayaan magis lain seperti halnya pemujaan terhadap buaya, teluh/santet, jimat serta kanuragan (kekebalan tubuh).
Masyarakat Banjar pada masa kerajaan di masa lalu memiliki enam strata sosial; (1) Kaum bangsawan (2) Kaum religius/tokoh agama (3) Pemimpin masyarakat/Adat (4) Masyarakat biasa (5) Penghutang/debtor (6) Budak.
Pada tingkatan sosial hierarki paling atas adalah raja (Sultan), yang sekaligus mengepalai tokoh-tokoh religius serta pimpinan bubuhan bangsawan (bubuhan adalah kelompok/keluarga besar). Secara adat, hanya mereka yang memiliki garis keturunan langsung dari kerajaan yang dapat menjadi sultan. Dinasti kerajaan suku Banjar memiliki kebanggaan tersendiri bahwa mereka masih memiliki garis keturunan dari leluhur mereka yaitu raja dari Nagara Dipa; Puteri Junjung Buih dan Pangeran Suria Nata. Keluarga kerajaan merupakan golongan paling atas dan umumnya dianugerahi gelar Pangeran Ratu dan Gusti. Mereka yang memiliki gelar tersebut masing-masing diberikan jatah sebidang tanah secara grant oleh kerajaan dan pendapatan tahunan yang berasal dari berbagai hak-hak khusus. Selain Pangeran Ratu atau Gusti, ada tingkatan lain di bawah itu yang dikenal sebagai Raden, Nanang dan Andin dimana gelar-gelar tersebut dipandang cukup bergengsi di mata masyarakat biasa. Keturunan Nanang cukup memiliki pengaruh yang kuat di Benua Lima pada masa tampuk kekuasaan dipegang oleh 3 Sultan terakhir kerajaan Banjar, dimana kemudian para Nanang tersebut banyak menjabat sebagai bupati di awal abad 20.
Eselon tertinggi dalam birokrasi di pusat kerajaan dipegang oleh Pangeran Ratu atau Sultan Mula, Pangeran Mangkubumi atau Mangkubumi (Patih), sedangkan di wilayah Benua Lima dipegang oleh Kyai Adhipati; yang mana para Kyai Adhipati ini diberi kewenangan hingga untuk memberi hukuman mati. Para pemimpin unit-unit kerja dalam birokrasi dipegang oleh mantri yang memiliki gelar Temenggung, Kyai, Demang, Aria, Ngabehi, Pambakal dan Neyarsa.
Kaum religius dalam kerajaan memainkan peranan amat penting dalam pemerintahan, dan Sultan sendiri yang memimpin kaum religius kerajaan ini. Di bawah Sultan ada Hakim Besar yang terdiri atas kepala Kadhi, kepala Mufti, kepala Penghulu dan kepala Kalifah. Kepala Mufti bertindak sebagai kepala pengadilan tinggi yang mengurusi semua urusan pengadilan kejahatan dari yang kecil hingga yang besar. Urutan berdasarkan tingkat kepentingan dalam birokrasi kerajaan adalah Kadhi, Mufti, Penghulu, Kalifah & Lebai dan Bilal & Kaum. Kebanyakan anggota kaum religius tersebut bergelar Haji dan sebagian lagi berasal dari keturunan bangsawan. Haji mendapat predikat Tuan atau Patuan, atau secara umum disebut Patuan Haji yang merupakan simbol status sosial ‘elit intelektual’ pada masa itu.
Seorang Haji yang mengajarkan agama Islam akan dipanggil sebagai Tuan Guru, sedangkan seorang pengajar biasa akan dipanggil Guru saja. Semua kelompok religius di seluruh wilayah kerajaan setiap tahun sekali pada bulan Ramadhan akan mendapatkan zakat dari Sultan sebesar 1/10 dari hasil panen tahunan wilayah seluruh kerajaan, dan para haji dalam kelompok religius ini akan mendapatkan fitrah sebesar 1 gantang beras dari setiap anggota bubuhan. Karena dengan berhaji mereka dapat dikatakan telah melihat ‘dunia luar’ dan mereka adalah kelompok orang-orang yang rajin dan giat, sehingga dengan sendirinya para haji tersebut telah membentuk sebuah kelompok yang dinamis. Para Haji mendapatkan pendapatan dari hak-hak khusus birokrasi, kepemilikan lahan dan mengajar. Namun demikian ada kelompok religius yang lain selain kelompok tersebut yaitu para saudagar (pedagang); para saudagar ini umumnya para pembuat kapal ataupun pemilik kapal yang kebanyakan telah melakukan perdagangan hingga sampai ke Madras dengan kapal-kapal mereka. Kelompok saudagar ini tidak begitu dekat dengan raja dan para birokrat kerajaan sehingga pihak kerajaan cenderung ‘menghambat’ kegiatan perdagangan mereka dengan sistem monopoli ataupun talian. Talian adalah semacam retribusi/pajak yang dipungut oleh pihak kerajaan pada setiap kapal dagang yang melintasi sungai di wilayah kerajaan.
Yang mengepalai sebuah wilayah distrik adalah Lelawangan, sedangkan wilayah sub distrik dikepalai oleh Lurah atau Tuan Lurah bila dia seorang haji. Untuk tingkat kampung dikepalai oleh Pambakal yang dibantu oleh Pangerak dan Panakawan. Dalam setiap kampung umumnya tinggal satu atau lebih keluarga Bubuhan atau keluarga dekat Bubuhan tersebut. Keluarga ini memiliki pengaruh yang sangat kuat secara sosial dan ekonomi di kampung, dan umumnya mereka memiliki Tatuha Bubuhan sebagai orang yang dituakan/disegani dalam kelompok ini. Seorang Tatuha (bisa pria atau wanita) tidak mesti orang yang paling tua umurnya dalam kelompok, namun dipilih dari orang yang dianggap paling pandai, bijak, memiliki karisma serta dianggap memiliki kesaktian. Posisi Tatuha tersebut akan semakin kuat dan disegani apabila seorang Tatuha tersebut kaya raya dan sanggup memikul tanggung jawab atas segala kebutuhan ataupun tindakan-tindakan pelanggaran hukum dari anggota Bubuhan nya.
Setiap kepala Bubuhan dapat saja dipilih sebagai Pambakal di kampungnya. Yang termasuk orang penting lain dalam kampung adalah Panakawan atau para pembantu Pambakal yang memiliki keahlian profesional seperti pandai besi, pawang buaya, dukun beranak, Tuan Guru ataupun guru biasa. Kelompok orang jahat di kampung yang umumnya memiliki kesaktian, yang digambarkan biasa melakukan perjudian, pencurian, pembajakan di sungai pada saat musim kemarau serta perampokan biasanya juga dipekerjakan sebagai penjaga keamanan kampung.
Masyarakat biasa secara umum digambarkan cukup menderita dengan kondisi tersebut dan hanya mampu bersikap tunduk karena kuatnya aturan adat, kuatnya hak-hak khusus dari para pemegang kekuasaan serta setiap perkataan dari Tatuha Bubuhan, Guru dan Pambakal adalah tidak terbantahkan di setiap situasi dalam kampung. Orang-orang Alabio dan Nagara membayar Djawian atau semacam sewa tanah sebesar 4 Gulden. Mereka juga diharuskan membayar sebesar 26 Gulden atas pajak tanah dan 1 gantang beras setiap tahun kepada sekretaris pribadi sultan; semua penduduk diwajibkan untuk membayar 1/10 dari hasil panen tahunan mereka masing-masing sebagai zakat kepada kelompok religius.
Setiap wilayah di bawah kerajaan diwajibkan mengirimkan para pekerja untuk mengabdi kepada sultan dan para pekerja dari setiap wilayah memiliki tugas yang berbeda; pekerja dari wilayah Martapura hanya akan dipekerjakan sebagai pengayuh perahu kerajaan (perahu talangkasan) milik sultan. Wilayah Kelua, Sungai Banar dan Alabio setiap tahun akan mengirim kurang lebih 200 pekerja kepada sultan, 40 orang dari 200 orang tersebut akan mendapatkan kehormatan untuk dijadikan sebagai pengawal/penjaga kraton Bumi Selamat Martapura selama 2 bulan, sementara pekerja dari Kandangan akan diberi tanggung jawab untuk mengurus kuda-kuda milik sultan.
Selain itu setiap para pembayar Baktin diwajibkan bekerja untuk melayani sultan selama 1 bulan. Dan bagi pembayar Baktin yang tidak dapat melaksanakan kewajiban tersebut akan diwajibkan untuk menggantinya di bulan Ramadhan, Maulud dan Dzulhijah. Pada bulan-bulan tersebut mereka akan dikumpulkan oleh pimpinan mereka di kraton Martapura untuk memainkan hiburan wayang dan topeng dalam festival penting tahunan bagi sultan beserta kerabatnya serta penduduk Martapura.
Strata terendah dalam masyarakat adalah para penghutang dan budak. Dalam lilitan hutang kadang para penghutang ini harus bekerja seumur hidup bila tidak sanggup menebus hutangnya. Anak-anak dan isteri mereka akan mengikuti status para ayah mereka karena biaya-biaya yang timbul atas kehadiran anak-anak mereka akan dihitung juga sebagai hutang. Kebanyakan para pemberi hutang tersebut adalah orang Arab, Cina dan saudagar Banjar. Raja dan jajaran pimpinan kerajaan umumnya memiliki budak-budak sendiri. Ketika Belanda mulai membuka pertambangan batubara dan kesulitan untuk mendapatkan pekerja tambang, Belanda menggunakan tenaga para penghutang dengan cara menebus dari para tuannya. Berbeda dengan kasus para penghutang, dalam kasus budak dan perbudakan tidak pernah terjadi gejala benturan ataupun gesekan sosial dalam masyarakat suku Banjar karena kebanyakan para budak bukan berasal dari suku Banjar.
LINKAGES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar