“Ada gula ada semut” itu adalah pepatah lama yang amat tepat untuk menggambarkan betapa manisnya gula sehingga mengundang banyak hasrat untuk mencicipinya. Demikian pula besarnya hasrat orang-orang Eropa pada berabad-abad yang lalu telah mulai mengembangkan perkebunan-perkebunan tebu berikut industri pengolahan gula di koloni-koloni mereka di daerah tropis seperti Indonesia, India, Filipina, Kepulauan Karibia dan Kepulauan Pasifik lainnya. Akan tetapi sebenarnya tanaman tebu pertama kali ditemukan dan dimanfaatkan oleh orang Polinesia yang kemudian menyebar ke India. Keberadaan tanaman ini sempat dirahasiakan oleh raja Persia yang menguasai India sekitar tahun 510 sebelum Masehi karena hasil olahannya berharga sangat tinggi pada masa itu. Namun akhirnya rahasia tanaman tebu terbongkar oleh prajurit-prajurit Arab pada abad 7 sesudah Masehi, mereka mulai membudidayakan tanaman tebu dan mempelajari cara pengolahannya sehingga mereka mulai mendirikan tempat-tempat pengolahan di wilayah yang mereka kuasai termasuk Afrika Utara dan Spanyol.
Kabupaten Tanah Laut dengan ibu kota Pelaihari sebelum era maraknya pertambangan batu bara dan mineral lainnya saat ini, memang sudah dikenal sebagai daerah penghasil produk-produk pertanian baik itu komoditas pangan, ternak dan perkebunan. Dan salah satu tonggak bersejarah dikenalnya Pelaihari sebagai salah satu daerah industri pertanian di Kalimantan Selatan adalah dengan dibangunnya proyek pabrik gula Pelaihari. Proyek pengembangan pabrik gula Pelaihari secara formal pada awalnya dikelola oleh PT. Perkebunan XXIV – XXV (PERSERO) yang mana pendirian Persero ini dilandasi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1975 tanggal 28 April 1975.
Sedikit tentang PT. Perkebunan XXIV-XXV, perusahaan negara ini memang telah sejak lama berkecimpung dalam perkebunan tebu dan pabrik gula. Berawal dari perkebunan milik Belanda yang beroperasi tahun 1830 dengan nama Anamaet & Co yang berada di Kecamatan Pajarakan Probolinggo Jawa Timur. Pabrik ini terus beroperasi hingga masa pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945, pada masa pendudukan Jepang pabrik ini tidak beroperasi dan bahkan pabriknya sempat beralih fungsi menjadi markas tentara Jepang. Baru pada tahun 1948 pabrik gula ini diambil alih kembali oleh sebuah perusahaan Belanda yang bernama Javanch Kultur Matchapij NV dan baru beroperasi tahun 1951 karena banyak kerusakan akibat perang. Namun perusahaan Belanda ini tidak beroperasi lama karena ada keputusan politik nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia oleh pemerintah Indonesia termasuk pabrik ini pada tahun 1957 dengan adanya Surat Penguasa Militer/ Menteri Pertahanan No.1063/PMT/1957 tanggal 5 Desember 1957. Dan kemudian setelah nasionalisasi perusahaan perkebunan ini berganti nama menjadi Perusahaan Perkebunan Negara Baru atau disingkat PPN Baru yang menjadi cikal bakal PT. Perkebunan XXIX-XXV.
Pembangunan pabrik gula Pelaihari pada saat itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan gula nasional yang kian meningkat serta menuju ke arah swasembada gula. Sedangkan ide pembangunan pabrik gula Pelaihari sendiri adalah merupakan aspirasi masyarakat Tanah Laut kepada pemerintah pusat melalui memorandum DPRD II Tanah Laut Kalimantan Selatan Nomor 02/MEMO/DPRD-TL tanggal 2 November 1980 yang ditanda tangani oleh Ketua DPRD KH Abdul Wahab (alm). Memo tersebut berisi desakan kepada pemerintah pusat agar segera membangun pabrik gula di Pelaihari untuk penyerapan tenaga kerja dan mempercepat swasembada gula. Dengan ketersediaan lahan seluas 22.000 ha pemerintah pusat menanggapi positip aspirasi masyarakat ini dan mulai merealisasikan pembangunan pabrik gula Pelaihari pada tahun 1982 dengan biaya keseluruhan mencapai US$ 130,2 juta yang mana 60% nya merupakan dana pinjaman dari Bank Dunia, serta menunjuk PT. Perkebunan XXIV-XXV sebagai pengelola proyek pengembangan ini dengan pola perkebunan inti rakyat (PIR). Namun proses pembangunan pabrik ini bukan tanpa kendala di lapangan, kendala yang cukup serius adalah klaim atas lahan 22.000 ha areal perkebunan dimana 11.000 ha nya adalah tanah milik warga. Sehingga gubernur Kalimantan Selatan HM Said saat itu harus turun tangan dengan mengundang Tim Optibsus penertiban pertanahan di Tanah Laut untuk melakukan investigasi dengan hasil 648 sertifikat tanah dinyatakan cacat hukum. Sehingga pada akhirnya giling perdana pabrik gula Pelaihari dari hasil panen 2.350 ha dapat terlaksana pada tahun 1985.
Dengan berdirinya pabrik gula Pelaihari geliat roda ekonomi Tanah Laut menjadi sangat terasa, tercatat pada tahun 1986 jumlah uang beredar di Tanah Laut berupa Tabanas, giro dan pengiriman uang naik dengan pesat 80% per tahun dari Rp. 500 juta menjadi Rp. 1,4 milyar dalam kurun waktu 1982-1985. Dan untuk deposito berjangka naik 2.000 % dari Rp.8,4 juta pada tahun 1982 menjadi Rp. 194 juta pada tahun 1985. Hal ini disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk sehubungan dengan segala aktivitas yang ada di pabrik gula, di dalam wilayah kerja pabrik telah bermukim 700 kk petani plasma eks transmigran ditambah dengan 1.437 orang karyawan pabrik tidak termasuk buruh tebang dan tenaga borongan lainnya. Jumlah ini masih akan bertambah dengan rencana kedatangan 400 kk lagi petani plasma serta 350 orang khusus penebang tebu guna memenuhi keperluan tenaga masa giling 1986 dari hasil panen seluas 4.350 ha. Perlu diketahui pada saat itu kota Pelaihari masih tergolong kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar 38.000 jiwa. Pertambahan penduduk akibat aktivitas pabrik gula ini juga mempengaruhi sektor-sektor perdagangan non formal lain seperti bertambahnya kios dan toko baru, bengkel-bengekel sepeda motor, jasa foto copy serta jasa angkutan umum lainnya.
Namun sayangnya geliat roda ekonomi Tanah Laut yang amat positip pada era tersebut tidak diikuti dengan semakin membaiknya pula kondisi manajemen pabrik gula Pelaihari. Adalah wajar apabila pada tahun-tahun pertama sebuah industri belum bisa meraup untung akan tetapi paling tidak hasil produksinya bisa menutupi ongkos-ongkos produksi seperti gaji karyawan dan pembayaran cicilan hutang. Tetapi apabila hasil produksinya tidak bisa menutupi ongkos-ongkos tersebut patutlah dicemaskan kelangsungan bisnis yang telah dibangun. Seperti halnya pabrik gula Pelaihari tercatat sejak giling perdana tahun 1985 hingga tahun 1996, pabrik ini cenderung merugi. Pada tahun 1996 keluar pula Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 1996 tentang merger PT. Perkebunan XX dan PT. Perkebunan XXIV – XXV menjadi PT. Perkebunan Nusantara XI. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh pihak manajemen tentang kisah meruginya pabrik ini. Mulai dari masalah teknis budidaya yaitu permasalahan kurang suburnya lahan perkebunan, curah hujan yang sangat tinggi 1.600 – 3.500 mm per tahun, kebakaran pada saat kemarau, serangan hama penyakit, serta kurangnya tenaga kerja. Pada tahun 1997 tercatat beberapa kerusakan kebun tebu yang diakibatkan beberapa hal, antara lain kerusakan akibat kebakaran 300 – 4.000 ha per tahun, kerusakan akibat serangan hama 400 – 2.000 ha per tahun dan kerusakan akibat hal lain yang mengakibatkan tebu tak layak giling seluas 400 – 2.500 ha per tahun. Tentang masalah tenaga kerja, sebenarnya ada sekitar 5.000 petani peserta PIR gula namun dari jumlah tersebut hanya 40% saja yang mampu memanen sehingga masih diperlukan sekitar 2.000 – 3.000 orang untuk tenaga panen. Hal tersebut masih diperparah dengan ulah tak terpuji oleh segelintir oknum PTP dengan menyelewengkan pupuk dan fasilitas perawatan lainnya yang seharusnya sampai ke lahan tebu melalui para petani peserta PIR. Ini semua mengakibatkan produksi yang tak maksimal dari kapasitas giling terpasang pabrik tebu yang seharusnya sehari bisa menggiling 4.600 ton namun hanya mampu menggiling maksimal 80 % saja dari kapasitas tersebut.
Bukan tidak ada usaha yang dilakukan oleh pihak manajemen PTP untuk mengatasi semua hal tersebut, terobosan pernah dilakukan dengan memanfaatkan Inpres Nomor 9 tahun 1975 tanggal 22 April 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Inpres ini dikeluarkan dengan maksud meningkatkan produksi gula dan meningkatkan pendapatkan petani tebu. Konkritnya, inpres ini adalah dukungan pemerintah kepada masyarakat dengan menyediakan fasilitas kredit perbankan untuk kegiatan usaha tebu. Peliknya permasalahan internal manajemen pabrik ini menghasilkan suatu rumusan bahwa TRI murni tidak dapat dilaksanakan sehingga diperlukan skema TRI khusus bagi pabrik ini. Skema TRI pola khusus ini didasarkan oleh SK Dirjen Perkebunan Nomor 44 tahun 1993 tentang TRI PIR gula Pelaihari. Hal ini setidaknya memberikan angin segar bagi PIR tebu, sehingga pihak manajemen saat itu memperkirakan bahwa kelak pada tahun 2000 pabrik akan mulai meraih keuntungan.
Terobosan tersebut ternyata tidak cukup manjur untuk mengatasi permasalahan pabrik gula Pelaihari. Hingga pada tahun 2001 pabrik gula sudah tidak mampu lagi mendanai penanaman tebu di lahan plasma, kemungkinan yang terjadi adalah bahwa kredit TRI pola khusus yang disalurkan melalui Bank Rakyat Indonesia sudah tidak dapat dikucurkan lagi. Hal ini mengakibatkan dari total 7.450 ha lahan plasma hanya dapat tertanam 1.050 ha saja. Hal lain yang memberatkan dalam sistem plasma, selama 15 tahun beroperasi pabrik gula Pelaihari memiliki kewajiban untuk membayar bagi hasil minimum kepada semua petani peserta plasma termasuk kepada petani yang tidak mau menanam tebu. Baru pada musim tanam 2000/2001 diterapkan pola bagi hasil 65 : 35 kepada petani yang mau menanam tebu, dan jika terjadi kebakaran kerugian ditanggung bersama antara petani dan pabrik gula. Dan ketentuan baru ini dirasakan beresiko bagi para petani plasma sehingga banyak diantara mereka yang menelantarkan lahannya, menjual kepada penambang emas tradisional atau menanaminya dengan komoditas lain. Mengenai petani plasma yang menanami lahannya dengan komoditas lain tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan karena ada Undang-Undang no 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman yang telah membebaskan petani untuk mengusahakan lahannya dengan komoditas pertanian berdasarkan pertimbangan ekonomisnya. Dikeluarkannya undang-undang tersebut menambah terpuruknya bukan hanya pabrik gula Pelaihari akan tetapi industri gula secara nasional.
Setelah segala daya dan upaya dikerahkan untuk kelangsungan pabrik gula Pelaihari, akhirnya pabrik ini harus menyerah kepada keadaan sehingga pabrik ini resmi dilikuidasi oleh pemerintah pada tanggal 25 Oktober 2002. PT. Perkebunan Nusantara XI mundur teratur dari bumi Tanah Laut, dan kabarnya PTPN XI tahun 2006 lalu telah menggandeng pihak Perum Perhutani dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) untuk membangun pabrik gula baru di Banyuwangi Jawa Timur dengan memanfaatkan mesin-mesin eks pabrik gula Pelaihari. Kini, paska mundurnya PT. Perkebunan Nusantara XI di Tanah Laut, pada areal eks tebu dan pabriknya telah didirikan kilang minyak sawit berikut hamparan kebun sawitnya yang diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin pada tanggal 11 November 2009. Perkebunan sawit beserta kilang minyak sawit ini dikelola oleh saudara kandung PTPN XI yaitu PTPN XIII.Hari-hari “hamil tua” di pabrik gula
Hari-hari ini situasi pabrik gula kita seperti menghadapi istri yang lagi hamil tua. Musim giling sudah di depan mata. Pertaruhan sedang dibuat: apakah pabrik gula kita masih akan kembali melahirkan bayi yang cacat?Tahun 2011 dari 52 pabrik gula milik BUMN tinggal 20 parik yang masih baik. Yang 32 dalam keadaan jelek dan jelek sekali. Ada pengamat yang bilang payahnya pabrik gula kita karena mesin-mesinnya yang sudah tua. Pengamat lain mengatakan kondisi payah itu karena manajemennya yang buruk. Ada juga yang bilang penyebabnya adalah tata tanam tebu yang kian sembarangan. Baca selanjutnya....
Ijin share om..
BalasHapussilahkan saja...smoga bermanfaat
BalasHapus