Rabu, 08 Juni 2011

LADANG MINYAK TABALONG 1898 - SEKARANG (Seri Sejarah # 6)




Minyak bumi atau petroleum berasal dari kata “petros” dalam bahasa Yunani berarti batu dan “oleum” dalam bahasa Latin berarti minyak. Jauh sebelum minyak bumi dieksploitasi dan dipergunakan secara luas pada abad 19, pemanfaatan mineral bumi diawali dengan penambangan aspal alami oleh bangsa Iraq di tepian sungai Euphrate pada tahun 4.000 sebelum Masehi. Aspal alami ini digunakan sebagai mortar atau peluru api dalam peperangan dan juga digunakan sebagai penambal anti air di kapal, tempat-tempat penampungan serta bangunan. Kemudian berabad-abad setelah itu minyak bumi mulai ditambang dan dimanfaatkan oleh bangsa Cina pada tahun 347 Masehi, minyak bumi di Cina ini ditemukan pada kedalaman 240 meter dan ditambang secara sederhana dengan menggunakan bambu. Dan tercatat juga pada tahun 1594 minyak bumi ditambang dengan penggalian secara manual oleh bangsa Persia di daerah bernama Baku dan minyak bumi ditemukan pada kedalaman 35 meter.
Sampai pada akhir abad 19, hasil utama olahan minyak bumi yang dimanfaatkan hanya berupa paraffin untuk pemanas dan kerosene (minyak tanah) untuk penerangan/lampu. Akan tetapi ternyata minyak bumi yang berasal dari Indonesia terutama Sumatera banyak mengandung gasoline (bensin) yang kemudian banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan di Eropa. Baru pada awal abad 20 pada saat perang dunia kedua berkecamuk ditemukan diversifikasi baru olahan minyak bumi yang menghasilkan minyak dengan oktan tinggi berupa avtur untuk bahan bakar pesawat terbang serta butadiene sebagai bahan baku karet sintetis.
Ketenaran nama kabupaten Tabalong yang sudah dikenal sejak dahulu juga tidak lepas dari kekayaan sumber alamnya yang melimpah terutama kekayaan mineralnya yang berupa minyak, gas bumi serta batu bara. Sumber alam mineral terutama minyak bumi di bumi Tabalong telah diambil dan dimanfaatkan lebih dari 1 abad yang lalu sejak jaman Hindia Belanda hingga kini. Sekilas tentang Tabalong, menilik cerita dari mitologi suku Maanyan yang merupakan suku tertua di Kalimantan Selatan bahwa di daerah Tabalong hingga Paser Kalimantan Timur pernah berkuasa sebuah kerajaan kuno yang bernama kerajaan Nan Sarunai. Meskipun agak sulit diterima mengingat letak geografis kerajaan ini yang jauh dari pesisir laut, menurut mitologi suku Maanyan menceritakan kerajaan ini pada masa-masa keemasannya telah melakukan hubungan hingga ke kepulauan Madagaskar, dan salah satu buktinya adalah kemiripan bahasa Ma’anyan dengan bahasa Malagasy yang dipakai oleh orang Madagaskar *). Salah satu peninggalan arkeologis kerajaan ini berupa situs candi Hindu yang bernama Candi Agung di daerah Amuntai Hulu Sungai Utara, menurut uji karbon C 14 pada tahun 1996 candi ini diperkirakan berdiri sekitar tahun 242 – 226 sebelum Masehi. Persilangan budaya dan ras antara suku Dayak (Ma’anyan, Bukit, Ngaju) dengan suku Melayu terjadi setelah kedatangan para imigran Melayu asal kerajaan Sriwijaya (Palembang) pada sekitar tahun 400 – 500 Masehi, dari pertemuan kedua suku tersebut sehingga terbentuklah kerajaan yang lebih maju yakni kerajaan Tanjungpuri.
Tidak ada catatan yang pasti tentang akhir eksistensi kerajaan Tanjungpuri ini hingga akhirnya wilayah kekuasaan kerajaan ini beralih pada keturunan mereka yaitu Kesultanan Banjar pada abad 17 Masehi, kesultanan Banjar memiliki batas teritorial paling Barat adalah Kerajaan Sambas dan paling Timur Kerajaan Tidung. Ada dua versi cerita yang menceritakan asal muasal nama Tabalong, versi pertama adalah menurut cerita lisan dari mulut ke mulut, bermula dari cerita para perambah hutan jaman dahulu yang ketika membuka areal perladangan di dalam hutan dan kaki mereka terinjak duri-duri Tataba sejenis pohon yang seluruh batangnya berduri keras. Mereka menjerit kesakitan ketika terinjak duri Tataba tersebut, jerit kesakitan ini dalam bahasa Banjar Hulu dikatakan dengan tahalulung atau melolong, maka inilah akhirnya menjadi penyebutan nama Tabalong. Cerita versi kedua adalah berasal dari hikayat Datu Banua Lima yang menceritakan tentang nama Tabalong tersebut berasal dari salah satu lima bersaudara putera dari Datu Intingan (saudara Datu Dayuhan kepala suku Dayak Meratus) dan Dayang Baiduri (putri imigran dari kerajaan Sriwijaya) yang menjadi panglima di kerajaan Tanjungpuri. Kelima bersaudara itu adalah Panglima Alai, Panglima Tabalong, Panglima Balangan dan dua kembar bersaudara Panglima Hamandit & Panglima Tapin.
Sejak runtuhnya kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860, maka daerah Kalimantan Selatan menjadi wilayah administratif pemerintahan Hindia Belanda. Hingga tahun 50 an Tabalong masih merupakan wilayah Kawedanan (satu tingkat di bawah kabupaten) di dalam wilayah kabupaten Hulu Sungai Utara yang dipimpin oleh seorang Wedana. Gagasan untuk menjadikan Tabalong menjadi kabupaten diprakarsai oleh bapak Baharuddin Akhmid yang saat itu menjabat sebagai asisten Wedana kecamatan Tabalong Selatan. Dan pada tanggal 15 Maret 1958 mulai dibentuk Panitia Sementara Penuntutan Daerah Swatantra Tingkat II Tabalong. Selanjutnya pada tanggal 5 Mei 1959 dalam sidang Pleno terbuka DPRD Hulu Sungai Utara telah memutuskan menyetujui tuntutan rakyat Tabalong agar kewedanaan Tabalong dapat dijadikan daerah Swatantra Tingkat II Tabalong dengan ibu kota Tanjung. Pada tanggal 5 September 1964 Kewedanaan Tabalong telah ditingkatkan statusnya menjadi daerah persiapan Tingkat II Tabalong dengan kepala kantornya Usman Dundrung yang seorang mantan Wedana Barabai. Kabupaten Tabalong dibentuk dan diresmikan pada tanggal 1 Desember 1965, oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Bapak Dr.Soemarno Sosro Atmodjo. Sedangkan Bupati pertama pemerintah daerah kabupaten Tabalong yang masa itu disebut sebagai Penguasa Daerah yaitu Bapak Usman Dundrung, dilantik pada tanggal 1 Desember 1965 dan mengakhiri masa jabatan pada 14 Maret 1972.
Masa-masa awal eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi di Indonesia dimulai pada kurun waktu 1871 – 1885, seorang pengusaha perkebunan tembakau Belanda bernama A.J Zijkler memulai pengeboran minyak bumi di desa Telaga Said wilayah Kesultanan Langkat Sumatera Utara dan berhasil mengeluarkan minyak dari dalam bumi tepatnya tanggal 15 Juni 1885 pada kedalaman 121 meter dengan hasil minyak yang diperoleh 180 barrel per hari (1 barrel = 159 liter). Dan saat itulah pertama kali minyak bumi di Indonesia berhasil dieksploitasi dan diusahakan secara komersial. Sumur minyak pertama di Indonesia tersebut ditinggalkan pada tahun 1934, dan kini pada tempat tersebut berdiri sebuah monumen berupa tugu Telaga Tunggal.
Untuk wilayah Kalimantan, konsesi komersial minyak bumi pertama adalah konsesi milik Sultan Kutai Kalimantan Timur dengan orang Belanda bernama JH Meeten di daerah Sanga sanga pada tahun 1888. Karena besarnya potensi minyak bumi di Kalimantan maka pemerintah Hindia Belanda merasa perlu untuk membangun sebuah instalasi penyulingan minyak yang dekat dengan pelabuhan sehingga memudahkan untuk kegiatan ekspor minyaknya, sehingga pada tahun 1894 dibangunlah kilang minyak di Balikpapan oleh perusahaan minyak Belanda bernama Royal Dutch Shell dan kilang minyak ini mulai beroperasi pada tahun 1898. Pemerintah Hindia Belanda saat itu terus giat melakukan eksplorasi sumber-sumber minyak baru di wilayah Kalimantan, hingga pada tahun 1898 dilakukan pengeboran lapangan minyak baru di Tanjung Kalimantan Selatan oleh perusahaan bernama Minj Bouw Maatschapij Martapoera. Minj Bouw Maatschapij Martapoera beroperasi di Tanjung yang berakhir masa kontraknya tahun 1912, dan kemudian sumur minyak lapangan Tanjung beralih pengelolaannya oleh Dotsche Petroleum Maatschapij hingga awal tahun 1930 an.
Pada tahun 1930 itu pula kegiatan eksploitasi minyak bumi di Tanjung beralih pengelolaannya kepada sebuah perusahaan bernama NV Baatatsch Petroleum Maatschappij atau BPM. BPM adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Royal Dutch Shell yang mengkhususkan kegiatannya pada eksploitasi dan produksi, sedangkan Royal Dutch Shell sendiri merupakan merger dari dua perusahaan yaitu Royal Petroleum Company (De Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij) dengan Shell Transport and Trading Company pada tahun 1907. Untuk kegiatan pemasaran dilakukan oleh perusahaan afiliasi BPM yaitu Asiatic Petroleum sedangkan untuk transportasi ditangani oleh perusahaan afiliasi BPM yang lain yaitu Anglo Saxon Petroleum Company. BPM pada saat itu memiliki wilayah konsesi minyak di Sumatera Utara (Telaga Said & Perlak), Kalimantan (Sanga sanga, Tarakan, Samboja, Bunyu dan Tanjung) serta Jawa (Cepu). Selain menangani operasional dan produksi, BPM juga memiliki unit kerja yang lain yaitu instalasi pipa-pipa penyalur serta operasional pengolahan berupa kilang-kilang penyulingan minyak bumi. Pada rentang waktu tahun 1930 – 1939 di bawah pengelolaan BPM, di daerah Tabalong ditemukan pula sumur-sumur minyak yang lain yaitu lapangan Warukin, lapangan Dahor dan lapangan Kambitin.
Pada periode 1942 – 1945 saat perang dunia kedua pecah yang ditandai dengan invasi masif balatentara Jepang yang bergerak dari Filipina, Sarawak dan masuk wilayah Kalimantan Indonesia melalui Tarakan hingga akhirnya menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda, maka secara otomatis unit-unit bisnis milik kerajaan Belanda jatuh ke tangan Jepang termasuk lapangan minyak Tanjung. Pada periode ini kegiatan operasional oleh BPM terhenti, akan tetapi aktivitas eksploitasi tetap dilanjutkan oleh Jepang dengan tetap memakai tenaga kerja lokal yang ada. Aktivitas eksploitasi di lapangan Tanjung oleh Jepang pun berakhir seiring dengan bertekuk lututnya balatentara Jepang oleh tentara sekutu pada tahun 1945.
Setelah berakhir perang dunia kedua tahun 1945, BPM kembali beroperasi di lapangan Tanjung hingga tahun 1961. Setelah kembali dioperasikan oleh BPM, maka dimulailah pekerjaan instalasi pipa penyalur minyak mentah dengan diameter 20 inchi dari sumur-sumur minyak dari beberapa lokasi di Tabalong menuju tempat penimbunan di Manunggul dan kemudian disalurkan melalui pipa bertekanan tinggi menuju tempat penyulingan di Balikpapan Kalimantan Timur, pekerjaan instalasi pipa penyalur ini akhirnya selesai dikerjakan pada akhir tahun 1961 dengan total panjang pipa 246 km yang beberapa km diantaranya terpasang di dasar laut. Dapat dibayangkan betapa beratnya pekerjaan instalasi pipa penyaluran minyak ini pada saat itu, selain menembus lebatnya hutan juga harus melewati topografi yang berat melintasi lembah dan perbukitan serta laut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang no. 44 Prp Tahun 1960 tanggal 26 Oktober 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Dalam undang –undang ini dinyatakan bahwa segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada di wilayah Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, serta pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dilakukan oleh perusahaan negara. Namun dalam hal ini negara dapat saja memberikan kuasa pertambangan (kontrak) kepada pihak swasta apabila perusahaan negara belum mampu melakukan sendiri pekerjaan pertambangan minyak dan gas bumi. Dengan dikeluarkannya UU no. 44 tahun 1960 ini maka undang-undang lama jaman Hindia Belanda berupa Indische Mijn Wet dalam Staatsblad nomor 214 tahun 1899 tidak berlaku lagi. Yang mana dalam undang-undang Hindia Belanda ini dinyatakan bahwa pengusahaan dan pertambangan diatur dalam wilayah konsesi penambangan serta pola kerjasama dengan pengakuan hak secara individual lebih menonjol.
Pada masa Hindia Belanda wilayah konsesi penambangan minyak di Sumatera, Jawa, Kalimantan serta Papua dikuasai oleh beberapa perusahaan Belanda yaitu Baatatsch Petroleum Maatschappij (BPM), Nederlandsch Indische Ardolie MU (NIAM), Standard Vacuum Petroleum Maatschappij (SVPM) serta Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM). Undang-undang no. 44 tahun 1960 ini menjadi dasar pemerintah Indonesia untuk melikuidasi BPM dan membentuk PN Permindo, dimana sebagian saham PN Permindo adalah milik PT. Shell Indonesia. Namun dalam hal ini PT. Shell Indonesia lah yang melaksanakan kegiatan operasional termasuk di Tabalong. PN Permindo adalah perusahaan negara hasil likuidasi dari perusahaan Belanda NIAM, sedangkan PT. Shell Indonesia adalah bentukan baru dari BPM. Kerjasama ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 1961 pemerintah Indonesia mengambil alih saham PT. Shell Indonesia, dan mendirikan sebuah perusahaan negara dengan nama PN Pertambangan Minyak Nasional (PERMINA) atas dasar PP no. 198 tahun 1961. Dan pada tanggal 31 Desember 1965 pemerintah Republik Indonesia telah membeli perusahaan PT. Shell Indonesia dengan harga US$ 110 juta sehingga seluruh unit-unit PT. Shell di Indonesia menjadi milik organisasi PN Permina. Setelah dua perusahaan negara PN Permina dan PN Pertamin yang bergerak di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilebur menjadi satu perusahaan dengan nama PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (Pertamina) dengan dasar Peraturan Pemerintah no. 27 tahun 1968 tanggal 20 Agustus 1968, maka seluruh kegiatan penambangan minyak dan gas di wilayah Indonesia telah dikontrol dan diorganisasikan oleh perusahaan pemerintah Republik Indonesia.
Di era akhir tahun 60 an hingga akhir tahun 80 an adalah masa kejayaan Pertamina di Tabalong karena keuntungan dari semua hasil produksi menjadi milik Pertamina, namun karena telah sedemikian lamanya eksploitasi dilakukan maka sumur-sumur minyak bumi yang ada di Tabalong pun mulai menurun produksinya. Dalam hal ini diperlukan suatu teknologi eksploitasi minyak bumi yang harus diadopsi untuk kembali meningkatkan produksi sumur-sumur minyak di Tanjung. Nama dari teknologi ini adalah Enhanced Oil Recovery (EOR), teknik ini bertujuan agar minyak bumi dalam sebuah sumur dapat berproduksi kembali dengan cara memberikan sebuah energi tekan berupa bahan kimia, air atau lainnya yang diinjeksikan ke dalam sebuah sumur minyak sehingga minyak bumi dapat memancar ke permukaan tanah. Dan pada tahun 1989 Pertamina Tanjung kembali harus menggandeng perusahaan asing untuk melaksanakan EOR yang ditandai dengan ditanda tanganinya kontrak EOR selama 15 tahun antara Pertamina Tanjung dengan 2 perusahaan mitra yaitu Southern Cross (Tanjung) Ltd dan Bonham (Tanjung) Ltd pada tanggal 11 September 1989.
Pada tahun 1992 terjadi pengalihan hak dan kewajiban EOR dari mitra Southern Cross (Tanjung) Ltd dan Bonham (Tanjung) Ltd kepada Bow Valley (Tanjung) Ltd, dan pada bulan Agustus 1994 kontrak EOR kembali beralih kepada Talisman (Tanjung) Ltd dengan Participating Interest 50% Pertamina dan 50% Talisman Energy – Canada. Kontrak EOR dengan Talisman Energy telah berakhir pada tahun 2003. Setelah usai kontrak EOR selama 15 tahun dengan perusahaan asing dan transfer teknologi sudah dianggap memadai maka pada tanggal 11 September 2004 terbit SK Direktur Utama no. Prin-848/Cooooo/2004-S1 tanggal 3 November 2004 tentang pelaksanaan alih kelola Blok Tanjung paska kontrak EOR JOB (Joint Operation Body) antara Pertamina - Talisman (Tanjung) Ltd kepada PT. Pertamina Unit Bisnis EP (Tanjung).
Saat ini lokasi dan jumlah sumur-sumur minyak di Tabalong yang tersebar di beberapa tempat adalah; Tanjung Raya & Murung Pudak dengan jumlah lebih dari 250 sumur minyak, Warukin Selatan 11 sumur minyak, Warukin Tengah 6 sumur minyak, Tapian Timur 8 sumur minyak serta Kambitin dengan 2 sumur minyak. Pada tahun 2007 sumur-sumur minyak yang terdapat di Tabalong mampu menghasilkan minyak mentah 4.800 barrel per hari, jumlah produksi ini menyumbangkan 4,6% dari total rata-rata produksi nasional sebesar 103.000 barrel per hari. Kebutuhan minyak nasional menurut data dari www.esdm.go.id hingga tahun 2007 memperlihatkan bahwa jumlah konsumsi dan ekspor nasional selalu lebih tinggi dari jumlah produksi nasional, sehingga meskipun Indonesia merupakan produsen minyak akan tetapi Indonesia juga tetap melakukan impor minyak dari luar negeri. Salah satu contoh data produksi dan kebutuhan minyak nasional tahun 2007 adalah; produksi nasional 347.493.172 barrel, tingkat konsumsi nasional 321.302.814 barrel, keperluan ekspor 127.134.792 barrel dan impor minyak dari luar negeri 110.448.506,36 barrel.
Di tahun 2010 kebutuhan minyak nasional sudah mencapai 1,4 juta barrel per hari, oleh sebab itu PT. Pertamina (Persero) mencanangkan target produksi 1 juta berrel per hari. Sebuah tantangan yang berat bagi PT. Pertamina untuk dapat memenuhi kebutuhan minyak nasional dan kebutuhan ekspor serta sekaligus mengurangi beban impor minyak dari luar negeri. Akan tetapi bukankah negeri ini telah diberkahi dengan kekayaan alam yang sangat besar, tanaman dengan begitu mudahnya tumbuh dan menghasilkan sehingga sudah saatnya sedikit demi sedikit kita mengurangi ketergantungan kita dengan minyak fosil dan segera mengkonversinya dengan biofuel dan biodiesel yang berasal dari berbagai macam tanaman seperti jarak, sawit, tebu bahkan singkong. (EN, dari berbagai sumber)
*) Berdasarkan respon Jaona yaelmine@yahoo.fr tanggal 21 Agustus 2009 terhadap tulisan Asal Usul Dayak Ma’anyan yang menginginkan agar tulisan tersebut diterjemahkan ke bahasa Inggris, Perancis atau Malagasy.


Langkah Pertama : Manufacturing Hope!

Industri apakah yang harus pertama-tama dibangun di BUMN? Setelah sebulan menduduki jabatan menteri negara badan usaha milik negara (BUMN) dan setelah mengunjungi lebih dari 30 unit usaha milik publik ini, saya bertekad untuk lebih dulu membangun industri yang satu ini: manufacturing hope! Industrialisasi harapan. Baca selanjutnya....

Blog Advertising

3 komentar:

  1. numpang ngutip mas. saya post ulang di sini: http://utuhkaciput.wordpress.com/2013/12/28/1227/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus